Prof.
Dr. Hasjim Djalal, M.A.
Mantan Duta Besar, kini
anggota Dewan Maritim Indonesia, Maheswara Lemhannas, dan Pengamat Masalah
Kelautan dan Hukum Laut
Asal Mulanya
Persoalan
Selat Malaka–Singapura, pada mulanya, timbul karena adanya perkembangan
yang penting di bidang perkapalan dan perubahan-perubahan dalam strategi
militer secara global dari negara-negara besar. Seperti diketahui bahwa,
sejak 1967, terutama sejak pecahnya Perang Arab-Israel, kapal-kapal tangki
raksasa mulai lahir. Banyak di antara kapal tangki itu yang membawa minyak
dari Timur Tengah ke Jepang dan Timur Jauh. Dalam kaitan dengan itu, Selat
Malaka-Singapura adalah urat nadi perekonomian dunia, terutama Jepang.
Kemampuan
Selat Malaka-Singapura yang sebenarnya sempit, dangkal, berbelok-belok, dan
ramai itu semakin lama semakin terbatas untuk dapat melayani kapal-kapal
tangki raksasa yang semakin lama semakin besar dan banyak itu. Dalam
kondisi demikian, kecelakan besar pun seringkali terjadi. Kecelakaan ini
tidak saja membawa kerugian bagi pemiliknya, tetapi juga menimbulkan
bencana pengotoran laut yang pada akhirnya mempengaruhi kelestarian
lingkungan laut dan kehidupan rakyat Negara-negara pantai.
Sejak
1971, kecelakan kapal tangki raksasa di Selat Malaka-Singapura sudah
puluhan kali terjadi. Jadi, jumlah kecelakaan sebanyak itu sudah cukup
untuk membuat setiap orang harus merasa prihatin dengan
kemungkinan-kemungkinan bahaya yang selalu harus dihadapi oleh
negara-negara pantai.
Frekuensi
kecelakan yang jumlahnya sudah sedemikian besar terjadi, antara lain,
karena kepadatan lalu-lintas dan keadaan fisik Selat ini.
- Kira-kira
150-200 kapal setiap hari lewat di Selat ini. Sebagian di antaranya
adalah kapal-kapal tangki raksasa yang berukuran 180.000 dwt ke atas.
- Bagian
Selat yang dapat dilayari di Philip Channel hanyalah kira-kira 800
meter lebarnya. Arus laut dapat mencapai kecepatan 3 mil dengan
perubahan kecepatan yang tidak teratur.
- Nelayan-nelayan
setempat banyak pula yang menangkap ikan di perairan itu, selain
ramainya lalu-lintas laut yang memotong antara Singapura dan Batam.
- Berbagai
kedangkalan yang kurang dari 23 meter banyak terdapat di Selat ini.
Tentu saja, kedangkalan ini sangat berbahaya bagi kapal-kapal raksasa
yang sarat-bebannya lebih dari 19 meter.
- Hujan
dan angin kuat yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Selain
itu, perubahan strategi militer, negara-negara besar di dunia juga telah
membawa persoalan bagi Selat Malaka-Singapura. Seperti diketahui bahwa pada
1970-an, Uni Soviet (kini Rusia) yang mulai bangkit pada akhir 1960-an
telah berkembang menjadi negara maritim yang penting di dunia telah
meningkatkan kehadiran armadanya di Samudera Hindia. Kehadiran kekuatan
maritim Uni Soviet itu erat pula hubungannya dengan keperluannya untuk
lewat secara bebas melalui Selat Malaka-Singapura yang menghubungkan Rusia
di Eropa dengan Rusia di Timur Jauh. Karena itu, Selat Malaka-Singapura
semakin lama juga semakin penting bagi strategi global Uni Soviet, terutama
bagi angkatan lautnya. Hal yang sama juga terjadi dengan perubahan strategi
Amerika Serikat di Pasifik Barat sejak Guam Doctrine, tepatnya sejak
Amerika Serikat, pada 1969, menetapkan untuk mengalihkan tulang-punggung
pertahanannya di wilayah ini secara besar-besaran di daratan Asia menjadi
kehadiran lepas pantai Asia.
Persoalan yang Mengemuka
Faktor-faktor
tersebut membawa persoalan-persoalan baru bagi Selat Malaka-Singapura
karena faktor itu sangat mempengaruhi kelestarian dan keamanan negara
pantai. Di sisi lain, kemampuan negara pantai untuk menanggulangi bahaya
yang mungkin timbul dari kapal-kapal tangki raksasa, kapal-kapal perang dan
kapal-kapal nuklir masih sangat minimal untuk tidak mengatakan tidak ada
sama sekali. Pelayaran bagi kapal-kapal dagang biasa tidak ada kesulitan
karena kapal-kapal dagang tersebut, selama ini, tidak pernah ada persoalan.
Karena
itu, semakin lama semakin terasa perlunya pengadaan aturan-aturan di selat
tersebut untuk menjamin keselamatan negara-negara pantai, dan menjamin
kelancaran lalu-lintas pelayaran internasional secara wajar. Di bidang
hukum laut internasional, persoalan ini memunculkan akibat yurisdiksi
negara pantai untuk membuat aturan-aturan bagi pelayaran melalui selat yang
dipakai bagi pelayaran internasional dan persoalan regim (ketentuan hukum)
pelayaran bagi kapal-kapal yang lewat. Seiring dengan semakin berkembangnya
ketentuan lebar laut wilayah 12 mil yang semula hanya 3 mil, negara-negara
maritim besar, karena kepentingannya sendiri, ingin mengubah ketentuan
hukum internasional yang ada, khususnya pasal 16 ayat 4 Konvensi Geneva
1958 tentang Laut Wilayah dan Zone Berdekatan. Konvensi ini menetapkan
bahwa rezim “ innocent passage ”
walaupun dengan ketentuan bahwa “ innocent
passage ” tersebut tidak boleh ditangguhkan ( suspended ).
Selain
persoalan hukum tersebut, persoalan Selat Malaka-Singapura juga mempunyai
segi-segi politis dan teknis. Segi-segi politis yang penting, antara lain,
cara menggalang kesatuan pandangan di antara ketiga negara pantai untuk
menghadapi dunia luar, terutama Jepang (karena kepentingannya yang sangat
besar terhadap kebebasan lalu-lintas kapal-kapal tangki raksasa) dan
negara-negara besar, khususnya USA, RRC, dan India. Negara-negara tersebut
mempunyai kepentingan-kepentingan yang sangat besar pula di bidang
lalu-lintas kapal militer. Usaha-usaha penyatuan pandangan dan sikap
negara-negara pantai ini sangat penting terutama jika diingat posisi
geografis ketiga negara pantai yang sangat berbeda.
Di satu
sisi, Singapura dengan luas pantai yang tidak begitu panjang menjadi salah
satu pelabuhan yang sangat besar di dunia. Hidup mati Pelabuhan Singapura
ini banyak dan sangat bergantung pada perkapalan yang melalui selat
tersebut. Jadi, Singapura melihat fungsi Selat Malaka-Singapura terutama
sebagai wadah komunikasi atau pelayaran. Di sisi lain, Indonesia dan
Malaysia dengan luas pantai yang sangat panjang dan kehidupan rakyat pantai
yang sebagian besar masih sebagai nelayan, lebih mementingkan fungsi
pemeliharaan lingkungan laut untuk menjaga sumber-sumber perikanan selain
sebagai wadah komunikasi. Secara teknis, persoalan Selat Malaka-Singapura
juga tidak kalah pentingnya karena ia menyangkut usaha ketiga negara pantai
untuk meningkatkan keselamatan pelayaran. Jadi, pemeliharaan fungsi Selat
Malaka-Singapura diharapkan dapat meningkatkan kelestarian lingkungan di
selat tersebut.
Pendekatan Segi Hukum
Seperti
diketahui, sejak 1957, Indonesia sudah menerima lebar laut wilayah 12 mil.
Indonesia juga menyatakan bahwa di selat-selat yang lebarnya kurang dari 24
mil, garis batas laut wilayah Indonesia dengan negara tetangga di tarik di
tengah selat ( median line ).
Lalu, pada 1969, Malaysia juga menerima ketetapan lebar laut wilayah yang
12 mil tersebut.
Karena
lebar bagian selatan dari Selat Malaka tersebut kurang dari dua kali 12 mil
(di bagian paling selatan lebar Selat Malaka kurang lebih 8 mil), setelah
mengadakan perundingan di Jakarta pada Maret 1970, perjanjian antara
Indonesia dan Malaysia tentang garis batas laut wilayah masing-masing telah
disepakati dan ditanda-tangani. Kesepakatan tentang luas wilayah negara di
selat tersebut diambil dari garis tengah yang ditarik dari titik-titik
terluar masing-masing negara di Selat Malaka tersebut. Perjanjian ini telah
diratifikasi oleh kedua negara dan mulai diberlakukan sejak pertukaran
Piagam Ratifikasi pada 8 Oktober 1971. Jadi, bagian Selat Malaka yang
lebarnya kurang dari 24 mil, sejak saat itu, secara otomatis menjadi laut
wilayah Indonesia dan Malaysia yang berada di bawah kedaulatan Indonesia
dan Malaysia. Dengan Singapura, Indonesia juga telah melakukan kesepakatan
perjanjian tentang garis batas laut wilayah di bagian tengah Selat
Singapura. Namun, kedua garis batas tersebut belum bersambungan, baik di
sebelah Barat maupun Timur Singapura.
Dalam
pada itu, negara-negara maritim yang saat itu tetap berpegang kepada lebar
laut wilayah 3 mil, pada mulanya, tetap mengakui wewenang Indonesia dan
Malaysia di Selat Malaka hanya sejauh 3 mil dari pantai masing-masing. Ini
berarti, dalam pandangan mereka, di bagian Selat Malaka yang lebarnya lebih
dari 6 mil, pada hakikatnya, masih terdapat bagian dari laut bebas;
artinya, pelayaran internasional adalah daerah bebas dan tidak tunduk
kepada prinsip-prinsip kedaulatan negara pantai.
Selat
Singapura sangat sempit yang di bagian-bagian tertentu lebarnya bahkan
kurang dari 3 mil. Jadi, dengan atau tanpa lebar laut wilayah 12 mil, Selat
Singapura juga selamanya dianggap sebagai laut wilayah negara pantainya.
Karena itu, sesuai dengan pasal 16 ayat 4 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut
Wilayah dan Zone Berdekatan, rezim pelayaran melalui selat tersebut
seharusnya adalah rezim “ innocent
passage ” dengan ketentuan bahwa “ innocent passage ” di selat tersebut tidak boleh
ditangguhkan. Seperti diketahui, pasal 16 ayat 4 tersebut menyatakan “ there shall be not suspension of the
innocent passage of foreign ships through straits are used for
international navigation between one part of the high seas and another part
of the high seas or the territorial sea of foreign state ”.
Jika
Selat Singapura yang sempit dan dangkal itu dianggap sebagai selat yang
dipakai bagi pelayaran, menurut hukum laut lama (Konvensi Geneva 1958),
satu-satunya perbedaan dengan pelayaran melalui laut wilayah lainnya
hanyalah “ innocent passage ”.
Salah satu ketentuannya, kapal-kapal asing tidak boleh ditangguhkan di
selat tersebut. Tetapi, rezim pelayarannya tetaplah rezim “ innocent passage ”. Namun,
negara-negara maritim menuntut bahwa rezim pelayaran melalui selat-selat
yang dipakai bagi pelayaran internasional haruslah rezim “pelayaran bebas”
atau apa yang dinamakan “ free
transit ” karena sebagian dari selat tersebut sebelumnya
merupakan laut bebas yang terletak di luar laut wilayah.
Jadi,
persoalan hukum dan politik Selat Malaka-Singapura bagi Indonesia adalah
(1) mempertahankan kedaulatan dan undang-undangnya (12 mil); (2) membela
perjanjian yang telah dibuatnya dengan Malaysia dan Singapura; (3)
mempertahankan ketentuan-ketantuan hukum internasional yang menjamin
keseimbangan antara kepentingan negara-negara selat dan negara-negara
maritim; (4) memelihara kesatuan pandangan dan sikap antara ketiga negara
pantai sebagai negara sahabat dan yang bertetangga baik dalam lingkungan
ASEAN dalam menghadapi sikap negara-negara maritim; dan (5) membela
keselamatan pelayaran, keamanan, dan kelestarian pantainya dari berbagai
pencemaran laut yang semakin lama semakin besar, terutama dari kapal-kapal
tangki raksasa yang lewat di selat tersebut.
Dasar Hukum 12 Mil
Lebar
laut wilayah suatu negara ditetapkan oleh negara itu berdasarkan
kepentingan-kepentingannya yang umum. Jika beberapa negara menetapkan lebar
3 mil untuk kepentingan-kepentingan mereka, negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia dan Malaysia juga berhak untuk menetapkan lebar yang
mereka perlukan (dalam hal ini, 12 mil) untuk memelihara
kepentingan-kepentingan mereka yang vital.
Lebar 3
mil, kini, jelas sekali tidak memenuhi lagi kebutuhan negara-negara di
dunia, termasuk kebutuhan negara yang dulunya hanya menganut lebar 3 mil
tersebut. Karena itu, semakin lama semakin banyak negara yang menganut 12
mil. Lebar ini kemudian telah diterima dan dimasukkan ke dalam pasal 3
Konvensi HUKLA 1982. Seiring dengan ketetapan lebar laut wilayah 12 mil
tersebut, Indonesia dan Malaysia hanya menggunakan aturan-aturan yang telah
dianut oleh hukum Internasional. Karena itu, Indonesia dan Malaysia tidak
melanggar ketentuan hukum atau kepentingan masyarakat internasional.
Hydrographic Survey dan Kepentingan Jepang
Sebagai
salah satu negara yang sangat berkepentingan atas keselamatan lalu-lintas
di Selat Malaka-Singapura, sejak 1970-an, Jepang menawarkan kepada ketiga
negara pantai untuk mengadakan survey bersama
untuk memperoleh data hidrografis yang diperlukan. Indonesia telah menerima
tawaran ini mengingat hasil-hasilnya juga akan sangat bermanfaat bagi
Indonesia.
Berdasarkan
memorandum of understanding (MoU)
pertama yang telah ditandatangani pada 21 Januari 1969 diadakanlah
“preliminary survey” sejak 28 Januari-14 Maret 1969. Saat itu, telah
diketemukan kira-kira 20 kedangkalan di beberapa wilayah laut yang sangat
berbahaya. Karena itu, ia sangat memerlukan detailed hydrographic survey . Beberapa
pembicaraan lanjutan antara Jepang dan ketiga negara pantai menghasilkan memorandum of understanding kedua
yang ditanda-tanngani pada 14 Juli 1970. Pada MoU II ini berhasil diadakan detailed survey dalam dua
bagian. Bagian pertama dari survey tersebut
telah diadakan pada akhir 1970.
Namun,
kelanjutan dari detailed hydrographic survey bagian
kedua mengalami kesulitan. Ini terjadi karena adanya draft agreement yang
disebarkan “secara tidak resmi” oleh Jepang kepada negara-negara tertentu
di dunia yang, antara lain, mengemukakan perlunya pembentukan Badan Internasional
untuk mengurusi kedua selat tersebut. Badan Internasional yang akan
dibentuk itu disarankan terdiri dari negara-negara pemakai selat ditambah
ketiga negara pantai. Akhirnya, draf ini beredar juga dalam sidang IMCO ( Inter-Governmental Maritime Consultative
Organization ). Indonesia dan Malaysia segera menanggapi usul
ini dan menentang dengan keras adanya usaha-usaha untuk
“menginternasionalisasikan” kedua selat itu. Indonesia dan Malaysia
menentang prinsip yang menyatakan bahwa selat-selat mereka akan dimanage oleh Badan
Internasional. Kedua negara bertetangga ini menghendaki bahwa yang harus
mengatur selat tersebut adalah negara-negara pantai itu sendiri, bukan
negara lain.
Sebagai
salah satu akibat dari move “tidak
resmi” Jepang ini, pengumuman dari hasil-hasil detailed hydrographic survey bagian pertama dan
pelaksanaan survey bagian
kedua menjadi tertunda lebih dari setahun. Indonesia dan Malaysia merasa
bahwa ketiga negara pantai seharusnya menyepakati lebih dulu sebelum mereka
mengadakan atau menyetujui kegiatan-kegiatan lanjutan tentang selat
tersebut. Singapura, kemudian, menyetujui untuk mengadakan konsultasi
terlebih dahulu.
Konsultasi
ketiga negara pantai diadakan di Kuala Lumpur pada 14-15 Juni 1971. Dalam
pertemuan konsultasi ini, antara lain, disepakati bahwa survey harus dilanjutkan atau
segera diumumkan tentang hasil-hasil survey yang
pertama. Namun, pengumuman itu sama sekali tidak berarti adanya komitmen
tertentu dari negara pantai untuk, misalnya, “menginternasionalisasi selat
tersebut” ( such as the
internationalisation of the straits ).
Pemerintah
Singapura, ternyata, idak dapat menerima ketentuan non-internasonalisasi
ini. Dengan demikian, usaha selanjutnya yang harus dilakukan adalah
menyatukan pandangan ketiga negara pantai, yaitu Indonesia dan Malaysia di
satu pihak yang sangat ingin mempertahankan klausul tersebut, dan
Singapura, di pihak lain, yang sama sekali tidak mau kalau non-internationalisation clause tersebut
dipertahankan.
Selat Malaka dan IMCO
Tampak
jelas bahwa ada banyak upaya untuk mencantumkan masalah keselamatan
pelayaran di Selat Malaka ini dalam pembicaraan-pembicaraan di sidang
Sub-Komite IMCO tentang Keselamatan Pelayaran di London, 5-9 Juli 1971.
Saat itu, Jepang mengajukan konsep traffic
separation scheme (TSS) untuk menjamin keselamatan pelayaran di
selat itu. Indonesia, dengan tegas, mengemukakan bahwa Selat Malaka adalah
wilayah negara pantai dan Indonesia tidak dapat menerima gagasan-gagasan
yang dapat menjurus ke arah “internasionalisasi” selat itu. Pernyataan ini
disokong oleh Malaysia, tetapi Singapura tidak hadir. Karena sikap
Indonesia dan Malaysia ini, draf TSS yang telah diajukan, akhirnya, tidak
dibicarakan oleh IMCO dan ditangguhkan. Penangguhan ini dilakukan untuk
menunggu selesainya draf yang akan diusahakan oleh negara-negara pantai
sendiri.
Pada
September 1971, atas permintaan Sekjen IMCO, pembicaraan-pembicaraan tidak
resmi antara delegasi-delegasi ketiga negara pantai dan Sekjen IMCO di
London diadakan kembali. Dalam kesempatan tersebut, delegasi-delegasi
Indonesia dan Malaysia kembali menegaskan posisi mereka yang menekankan
wewenang negara pantai atas selat tersebut. Delegasi tersebut juga
menambahkan bahwa ketiga pemerintah tersebut akan mengadakan
pembicaraan-pembicaraan untuk mengambil tindakan lanjutan guna meningkatkan
keselamatan pelayaran di selat itu. Sekjen IMCO mengharapkan agar ketiga
pemerintahan dapat mengumumkan politik dan rencananya untuk keselamatan
pelayaran di kedua selat tersebut.
Posisi Indonesia dan Malaysia
Karena
Selat Malaka-Singapura adalah bagian dari “laut wilayah” negara pantai,
negara yang sangat berkepentingan mengenai keselamatan pelayaran di selat
adalah negara-negara pantainya. Karena itu, Indonesia dan Malaysia menolak
tegas gagasan-gagasan yang dapat menjurus ke arah “internasionalisasi”
selat dan menentang campur-tangan pihak luar dalam “pengurusan” dan
“pengaturan” selat tersebut.
Menurut
Indonesia dan Malaysia, upaya penggunaan selat itu harus mengutamakan
kepentingan nasional negara tepinya tanpa merugikan pelayaran internasional
yang tidak mengganggu. Karena itu, rezim pelayaran bagi kapal-kapal asing
melalui selat tersebut seharusnya rezim innocent
passage , bukan rezim free
transit . Kapal-kapal yang lewat jangan mengganggu peace, good order and security dari
negara pantai. Ini berarti bahwa lewatnya kapal-kapal perang harus
sepengatahuan negara pantai, atau setidak-tidaknya, tidak membawa bahaya
bagi keamanan negara pantai. Kapal selam pun harus berlayar di atas
permukaan air. Kapal-kapal tangki dan kapal-kapal raksasa lainnya pun
hendaknya tidak membawa pencemaran laut saat mereka lewat di selat
tersebut.
Karena
Selat Malaka-Singapura dibatasi oleh tiga negara pantai, usaha menyatukan
pandangan dan tindakan ketiga negara pantai ( Indonesia , Malaysia , dan
Singapura) menjadi sesuatu yang sangat penting. Ini dilakukan karena akan
banyak yang harus dihadapi untuk menghadapi segala hal yang berhubungan
dengan selat tersebut, baik yang berhubungan dengan keselamatan dan
pelayaran maupun dalam menghadapi reaksi-reaksi dari luar ( non-Coastal States ). Seiring
dengan terbatasnya kemampuan selat tersebut secara fisik (panjang, sempit,
berbelok-belok, dangkal) untuk melayani kapal-kapal tangki raksasa, perlu
diadakan pembatasan-pembatasan terhadap besarnya kapal-kapal yang lewat.
Ini dilakukan demi keselamatan negara-negara pantai sendiri dan demi
kepentingan kapal-kapal tangki itu sendiri agar tidak terjadi kecelakaan.
Posisi Singapura
Singapura
yang menganut lebar 3 mil, sudah lama menyatakan tidak bersedia bahwa Selat
Singapura dan Selat Malaka adalah laut wilayah ( territorial sea ) negara
pantainya atau sebagai “bukan selat internasional”. Singapura merasa
khawatir bahwa kalau hal itu diberlakukan pelayaran internasional dapat
terganggu. Kepentingan perdagangan dan perkapalan pun akan sangat
dirugikan. Pada mulanya, Singapura lebih suka menunggu penyesuaian soal ini
oleh Konferensi Hukum Laut PBB III yang saat itu sedang berlangsung.
Hakikat
dari perbedaan pandangan antara Indonesia dan Malaysia, di satu pihak, dan
Singapura, di pihak lain. Jika Selat Malaka-Singapura diakui sebagai “laut
wilayah” negara pantainya, menurut hukum internasional dan Konvensi Geneva
1958 tentang Laut Wilayah, pelayaran kapal-kapal asing melalui perairan
tersebut hanya dapat diperkenankan atas dasar prinsip innocent passage , yaitu
tidak merugikan negara pantainya ( peace,
good order and security ). Jadi, negara pantai lebih banyak
haknya untuk mengatur selat-selat tersebut karena penentuan innocent -tidaknya sesuatu passage ditetapkan oleh
negara pantai itu sendiri. Dalam hal ini, Indonesia dan Malaysia berpegang
pada prinsip itu.
Sebaliknya,
jika Selat Malaka-Singapura tidak diakui sebagai “laut wilayah”, tetapi
merupakan “laut bebas” atau “selat internasional”, wewenang negara pantai
akan sangat terbatas di selat itu. Ini terjadi karena perairan itu, pada
hakikatnya, bukanlah wilayah mereka. Di perairan itu dapat berlaku prinsip free transit, yakni negara
pantai tidak banyak dapat berbuat, walaupun sesuatu passage dinilai dapat merugikan
negara pantai. Untuk menjamin kepentingannya, Singapura lebih menyukai
konsep ini.
Berdasarkan
faktor-faktor itu, kepentingan atau pandangan Singapura, agaknya, sejak
semula lebih dekat dengan negara-negara maritim lainnya di dunia, khususnya
Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris daripada Negara pantai lainnya yang
merupakan negara tetangga-tetangganya yang terdekat. Sebaliknya, posisi
Indonesia dan Malaysia jelas lebih dekat dengan posisi negara-negara selat
lainnya seperti Spanyol, Moroko, Iran, Oman, dan Yaman Selatan.
Usaha Menyatukan Pandangan Negara-negara Pantai
Karena
perbedaan-perbedaan pandangan yang ada di antara negara pantai, khususnya
antara Indonesia dan Malaysia, di satu pihak, dan Singapurta, di pihak
lain, sudah layak politik Indonesia berusaha menyatukan pandangan ketiga
negara pantai, khususnya dalam mengahadapi dunia luar. Karena itu,
Indonesia berusaha untuk melaksanakan berbagai konsultasi, antara lan,
mengikuti Pertemuan Tingkat Menteri Oktober dan Nopember 1971. Pertemuan ini
kemudian menghasilkan Pernyataan Bersama Tiga Negara pada 16 Nopember 1971
sebagai berikut:
- The three government agreed thet the safety of navigation
in the straits of Malacca and Singapore is the responsibility of the
coastal states concerned;
- The three governmet agreed on the need for tripartite
cooperation on the safety of navigation in the two straits;
- The three government agreed that a body for cooperation to
coordinate efforts for the safety of navigation in the straits of
Mallaca and Singapore be established as soon as possible and that such
body should be composed of only the three coastal states concerned;
- The three government also agreed that the problem of the
safety of navigation and the question of internasionalisation of the
straits are two separate issues;
- The government of the Republic of Indonesia and of
Malaysia agreed that the straits of Malacca and Singapore are not
international Straits while fully recognizing their use for
international shiping in accordance with the princple of innocent
passage. The Government of Singapore takes note of the position of the
Government of the Republic of Indonesia and Malaysia on this point;
- On the basis of this understanding the three government
approved the continuation of the hydrographic survey.
Pernyataan
tiga negara Selat Malaka dan Singapura, 16 Nopember 1971, itu merupakan
pernyataan yang sangat penting artinya dalam sejarah kedua selat tersebut.
1.
Pernyataan ini berarti bahwa, mulai saat itu, dalam soal keselamatan
pelayaran Selat Malaka dan Selat Singapura tidak lagi dianggap sebagai dua
selat, tetapi sebagai satu selat. Ini sangat penting artinya karena
masalahnya kini telah menjadi masalah segitiga (tripartit) antara ketiga
negara pantai ( Indonesia , Malaysia dan Singapura).
2.
Sesuai dengan prinsip unity antara
Selat Malaka dan Selat Singapura itu, ketiga negara pantai telah mengambil
tanggung jawab untuk mengatur keselamatan pelayaran di selat-selat
tersebut. Ini berarti bahwa, sejak saat itu, pengelolaan selat-selat
tersebut dilakukan oleh atau melalui ketiga negara pantainya. Prinsip
tripartit ini ditegaskan pula oleh ketentuan yang menyatakan bahwa “Badan
Kerja Sama” yang mengurus hal ini hanya terdiri dari ketiga negara
pantainya.
3.
Masalah Selat Malaka-Singapura dipecah menjadi masalah status hukum selat
dan keselamatan pelayaran. Ini berarti bahwa sekalipun ketiga negara
bersedia bekerja sama dalam soal-soal keselamatan pelayaran, namun, status
atau kedudukan hukum dari selat-selat tersebut sebagai wilayah
masing-masing negara tidak terpengaruh.
4.
Ketiga negara bersedia melaksanakan hydrographic
survey secara bersama-sama di selat tersebut atas dasar
pengertian seperti tersebut. Jika pelaksanaan survey itu dilakukan melalui kerja sama dengan
negara lain (seperti Jepang), ia tidak akan menimbulkan implikasi bahwa
ketiga negara pantai tersebut telah melepaskan posisi mereka mengenai
persoalan Selat Malaka.
5.
Kesediaan Indonesia untuk menerima prinsip tripartit dalam pengaturan
keselamatan pelayaran ini merupakan bentuk konsensi yang sangat besar dari
pihak Indonesia (dan Malaysia) karena masalahnya terletak pada semangat
“bilateral” atau “unilateral”. Kesediaan ini didorong oleh politik bertetangga baik yang
dijalankan oleh Indonesia dan adanya keinginan untuk dapat mengambil
tindakan-tindakan yang efektif dan wajar untuk melindungi kepentingan
bersama dan pelayaran internasional.
Sejalan
dengan kesepakatan tersebut, ketiga negara mulai merundingkan batas-batas
laut wilayah masing-masing di kedua selat tersebut. Ketiga negara
bersepakat untuk mengadakan perjanjian garis batas laut wilayah, yaitu
antara Indonesia-Malaysia di Selat Malaka, dan antara Indonesia-Singapura
di sebagian Selat Singapura. Tetapi, kedua garis batas itu belum
bersambungan antara Selat Malaka dan Selat Singapura. Juga, belum ada garis
batas laut wilayah antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura ke sebelah
timur dari Singapura menuju Laut Cina Selatan. Sejak 30 tahun terakhir ini,
Indonesia telah berusaha untuk menyelesaikan garis batas laut wilayah yang
belum terselesaikan di Selat Singapura. Tetapi, usaha-usaha tersebut tidak
atau belum memperlihatkan hasil-hasil yang nyata, terutama karena
kelihatannya Singapura tidak terlalu berminat untuk menyelesaikan masalah
ini. Inilah yang menjadi pemicu munculnya persoalan antara kedua negara
akhir-akhir ini.
Berdasarkan
kesepakatan 1971 itu, pada dasarnya, persoalan Selat Malaka-Singapura
ditandatangani oleh pejabat-pejabat senior dari ketiga negara tersebut.
Masalah-masalah teknisnya dibahas oleh Panitia Teknis Tiga Negara, yaitu Tri-Partite Technical Experts Group (TTEG).
Panitia Selat Malaka-Singapura (tingkat Senior) membahas hal-hal yang
berkaiatan dengan kebijakan-kebijakan tentang Selat Malaka-Singapura,
termasuk penanganannya selama Konferensi Hukum Laut, pembicaraan-pembicaraan
dengan Jepang, penanganan masalahnya di IMO, London (dulu, IMCO), dan
masalah-masalah lainnya yang bersifat kebijakan. Di Indonesia, panitia
teknis tersebut dulu diketuai oleh DEPLU (pada waktu itu Direktorat ASPAS,
dan Wakil Ketuanya Direktorat Hukum dan Perjanjian Internasional DEPLU),
sedangkan TTEG-nya di Indonesia dipimpin oleh pejabat di Direktorat
Jenderal Perhubungan Laut. Tetapi, Panitia Selat Malaka tersebut, kecualai
TTEG-nya, sudah lama tidak bekerja. Sayangnya lagi, masalah Selat Malaka
dan Singapura, kini, telah “direduksi” menjadi persoalan teknis keselamatan
pelayaran semata-mata, padahal masalah yang muncul di dalamnya sudah sangat
rumit dan kompleks.
Hydrographic Survey dan Hasil-hasilnya
Setelah
Pernyataan Bersama yang diumumkan pada 16 Nopember 1971, bagian kedua dari joint hydrographic survey ,
oleh tim dari Indonesia, Malayasia, dan Singapura (dibantu oleh Jepang),
pernyataan itu dilanjutkan kembali sesuai dengan isi memorandum of understanding pada
1970. Bagian pertama dari survey tersebut
meliputi daerah-daerah yang sangat kritis di Selat Singapura, yaitu Main
Straits, Philip Channel, dan perairan-perairan yang berdekatan. Survey ini telah dilaksanakan
pada 1 Oktober–21 Desember 1970 yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 5
januari 1972. Survey bagian
kadua dilakukan pada Pebruari-Juni 1972 yang meliputi perairan di Ujung
Selatan Selat Malaka dan bagian Utara Selat Malaka yang hasil-hasilnya
telah diumumkan pada 20 April 1973. Di dalam klausul memorandum of understanding ketiga
yang dibuat pada 1973 telah disepakati pula untuk mengadakan survey ketiga di
daerah-daerah dekat Rumenia Channel, yaitu pintu masuk ke Selat Singapura
dari Laut Cina Selatan dan perairan-perairan di Selat Singapura sendiri
yang belum pernah dilakukan survey .
Survey ketiga dilakukan
antara 4 Nopember 1973 dan 12 Mei 1974 yang hasil-hasilnya juga telah
diumumkan. Pada Nopember 1973 itu, disepakati pula untuk mengadakan survey yang keempat untuk
daerah-daerah yang belum di survey di
Selat Singapura bagian Timur. Survey ini
telah dilaksanakan pada 1974 yang hasil-hasilnya telah diumumkan pada 1975.
Keempat survey hidrografis yang telah
dilakukan selama kira-kira empat tahun itu telah memberikan
informasi-informasi yang cukup lengkap dan sangat penting mengenai keadaan
fisik dan lingkungan laut di selat tersebut. Tentu saja, hasil survey ini sangat berguna
bagi penentuan berbagai kebijaksanaan selanjutnya, terutama dalam mengambil
tindakan-tindakan untuk keselamatan pelayaran si selat-selat tersebut.
Kerja Sama Keselamatan Pelayaran
Sebagai follow-up dari Pernyataan
Bersama tiga negara pantai pada 16 Nopember 1971, pertemuan konsultasi
pertama antara ketiga negara pantai itu diadakan di Jakarta pada 4-5 Juli
1972. Pertemuan ini dilaksanakan untuk mencari jalan bagi peningkatan upaya
keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura. Pertemuan ini
pun berhasil meletakkan dasar-dasar bagi pertemuan-pertemuan berikutnya
yang diadakan di Kuala Lumpur, 25-26 Juni 1973. Pembicaraan-pembicaraan
dalam pertemuan konsultasi kedua lebih terarah daripada pertemuan
sebelumnya, antara lain, dan berhasil menghasilkan kesepakatan perlunya
mengadakan traffic separation scheme (TSS)
di selat itu, segera mengadakan tindakan-tindakan keselamatan pelayaran
tambahan, membentuk Badan Kerja Sama tiga negara pantai, dan melanjutkan survey hidrografis untuk
melengkapi data-data yang telah dikumpulkan pada survey hidrografis
sebelumnya.
Tentang
beberapa kesepakatan itu, Indonesia berpendapat bahwa TSS di selat tersebut
terutama harus ditujukan untuk menjaga keselamatan ketiga negara pantai
tanpa melupakan kepentingan kapal yang lewat. Walaupun Indonesia bersedia
mengajukan konsep TSS itu kepada IMCO untuk mendapatkan nasihat-nasihat
teknis, namun, Indonesia merasa bahwa negara pantai sendirilah yang harus
menetapkannya sendiri karena merekalah yang lebih mengetahui keadaan dan
kepentingan daerahnya. Hal ini sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan IMCO yang
saat itu hanya berupa badan konsultatif yang sangat menjunjung tinggi
prinsip sovereignity negara
atas laut wilayahnya. Selain itu, TSS ini juga harus memberikan tingkat
keselamatan yang sebesar mungkin bagi kapal yang lewat dan bagi negara
pantai. Karena pelaksanaan survey hidrografis,
selama ini, berdasarkan pemikiran untuk mencari kedalaman air 23 meter bagi
kemungkinan lewatnya kapal-kapal tangki yang bersarat 19 meter bisa lewat
dengan aman di selat tersebut, Indonesia mengusulkan agar sarat kapal-kapal
yang lewat di Selat Malaka Singapura itu dibatasi sampai maksimun 19 meter.
Sarat 19 meter ini, kira-kira, sama dengan kapal tangki yang berukuran
sekitar 200 ribu dwt.
Singapura
merasa bahwa walapun keselamatan negara pantai itu lebih penting, namun
kepentingan kapal yang lewat tidak kalah pentingnya. Menurut Singapura,
soal sarat kapal, pada dasarnya, terserah kepada pertimbangan nakhoda kapal
yang tentunya tidak ingin melihat kecelakaan terjadi atas kapalnya. Tetapi,
jika sarat itu harus ditetapkan, standar yang harus memperhitungkan adalah
pasang surut dan pasang naik di selat tersebut; dalam hal ini, Singapura
menghendaki sarat maksimun 22 meter. Selain itu, Malaysia mengusulkan sarat
yang berbeda bagi kapal yang menuju ke Selatan dan kapal yang menuju ke
utara melalui Selat Malaka.
Walaupun
terdapat perbedaan yang sangat besar tentang sarat kapal-tangki yang akan
diperkenankan lewat, namun, ketiganya sepakat untuk menyetujui perlunya
pembatasan sarat kapal yang lewat berdasarkan terbatasnya kemampuan fisik
selat. Ketiganya juga bersepakat untuk membentuk tim ahli yang akan
mempelajari dan menelaah soal-soal yang berhubungan dengan pembentukan TSS.
Tim ini akan selalu menjaga tingkat keselamatan yang sesuai dengan
kepentingan-kepentingan negara pantai dan juga akan menjamin kepentingan
pihak-pihak yang mempergunakan selat-selat tersebut.
Tindakan-tindakan
lanjutan dari pertemuan konsultasi yang kedua di Kuala Lumpur tersebut
kelihatannya berjalan lamban. Pertemuan konsultasi ketiga yang seharusnya
diadakan di Singapura pada Desember 1973, ternyata, sulit diadakan tepat
waktu. Adanya perbedaan pikiran antara ketiga negara itu mengenai
pembatasan yang perlu diadakan, walaupun telah disepakati adanya
pembatasan, berjalan sangat alot. Masalah yang kemudian muncul menjadi semakin
kompleks dan rumit seiring dengan kandasnya kapal tangker bernama Showa
Maru yang berukuran lebih dari 237 ribu dwt di perairan Indonesia di Selat
Singapura pada 6 Januari 1975. Kapal ini telah menumpahkan lebih dari 7.500
ton minyak mentah. Indonesia dan Malaysia merasa prihatin yang mendalam
atas masalah ini. Kekhawatiran itu mulai timbul berkaitan dengan
efektivitas dari usaha-usaha tripartit yang kelihatannya berjalan lamban.
Beberapa orang di Indonesia mulai berpikir apakah jalan bilateral sesungguhnya
tidak lebih baik untuk mengatasi soal ini. Jika langkah bilateral dianggap
sangat perlu dan harus dilakukan, langkah atau jalan unilateral perlu
dipertimbangkan.
Pertemuan Menteri Luar Negeri Tiga Negara Pantai
Indonesia
kemudian mengusulkan diadakannya Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri di
antara ketiga negara pantai untuk membahas masalah Selat Malaka-Singapura
tersebut. Pertemuan pun diadakan di Singapura pada 19 Februari 1975 yang
sebelumnya didahului oleh pertemuan tiga negara pantai tingkat pejabat
senior. Dalam pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri, Indonesia dan Malaysia
berpendapat bahwa dengan sering terjadinya kecelakaan kapal-kapal tangki
raksasa di selat tersebut, puncaknya pada kejadian kecelakaan Showa Maru,
sudah tiba waktunya bagi negara-negara pantai untuk mengambil tindakan
konkret untuk mengatur keselamatan sistem pelayaran, termasuk
tindakan-tindakan membatasi kapal yang lewat demi keselamatan dan
kesejahteraan negara-negara pantai dan kapal yang lewat itu sendiri.
Pertemuan
tersebut, antara lain, membicarakan tindakan-tindakan yang perlu diambil
untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, masalah-masalah yang berhubungan
erat dengan ganti-rugi yang ditimbulkan oleh pencemaran laut karena minyak
yang berasal dari kapal dan masalah pembentukan Badan Koordinasi yang akan
mengkoordinasikan dan melaksanakan tindakan-tindakan yang perlu diambil
untuk meningkatkan keselamatan pelayaran. Tentang usaha-usaha serius yang
harus dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, Indonesia dan Malaysia
menekankan perlunya pembatasan bagi kapal yang lewat. Dua negara jiran ini
juga mengusulkan kembali pembatasan sarat kapal 19 meter yang mencakup
kapal yang berukuran lebih dari 200.000 dwt jika lewat dengan membawa
minyak. Pembatasan yang diusulkan itu akan memberikan safety margin kira-kira 20%
dari sarat kapal. Ketetapan ini merupakan sesuatu yang lumrah dan perlu
diadakan untuk meningkatkan keselamatan. Sebaliknya, dengan memperhitungkan
pasang-naik dan pasang-surut yang bisa mencapai 23 meter, Singapura tetap
merasa bahwa pembatasan sarat itu harus 22 meter karena marjin keselamatan
yang diperlukan di bawah air cukup 10% dari sarat kapal. Singapura juga
merasa bahwa pembatasan itu harus berdasarkan sarat kapal, bukan tonnage kapal yang dimaksud.
Ketiga negara tersebut kemudian bersepakat untuk mempelajari kembali soal
ini secara lebih mendalam.
Dalam
rangka peningkatan keselamatan pelayaran ini pula, ketiga negara juga
sepakat untuk menambah alat-alat pembantu navigasi di selat-selat tersebut.
Tetapi, masalah pembiayaan atas pengadaan peralatan itu masih harus
dipelajari secara lebih mendalam. Hal terpenting yang harus diperhatikan
dalam hubungan dengan masalah ini adalah adanya kesepakatan tiga negara
untuk segera mengadakan traffic
separation scheme (TSS) di selat-selat tersebut. Untuk itu,
pertemuan telah membentuk dan menugaskan Tim Teknis untuk segera
menyelesaikan pemetaannya.
Tentang
usaha-usaha tindakan anti-polusi, ketiga negara juga sepakat untuk bekerja
sama dan mengadakan koordinasi dari kebijakan-kebijakan mereka. Berhubungan
dengan kebijakan anti-polusi ini adalah masalah kompensasi terhadap
kecelakaaan yang timbul karena tumpahan minyak dari kapal tangker.
Indonesia dan Malaysia, dalam hal ini, yang mempunyai pantai-pantai
terpanjang di dunia dengan pendudukan pantai yang banyak terdiri dari para
nelayan yang kehidupan sehari-harinya banyak bergantung pada sumber
perikanan di laut merasa adanya ketidak-adilan jika kompensasi tersebut
hanya dibatasi oleh ongkos-ongkos pembersihan polusi. Karena itu, mereka
menghendaki agar kompensasi tersebut juga mencakup kerugian-kerugian yang
ditimbulkan oleh polusi, baik terhadap pendapatan para nelayan ( consequential damage ) maupun
kelestarian lingkungan laut dalam jangka jauh ( ecological damage ). Singapura yang tidak
mempunyai pantai yang panjang dan fungsi selat baginya terutama hanya
sebagai space untuk
berlayar hanya menekankan pada penggantinya biaya-biaya operasi pembersihan
polusi. Ketiga negara juga sepakat untuk mempelajari soal ini secara lebih
mendalam.
Masalah
lain yang berkaitan erat dengan kompensasi ini adalah asuransi TOVALOP ( Tankers Owners Voluntary Agreement
Concerning Liability for Oil Pollution ) dan CRISTAL ( Contract Regarding an Interim Supplement
to Tanker Liability for Oil Pollution ). Kedua asuransi ini
menjamin adanya pembayaran ganti-rugi hingga mencapai jumlah US$ 30 juta
untuk setiap kecelakaan kapal tangki raksasa. Ketiga negara merasakan bahwa
jumlah ini mungkin tidak akan mencukupi untuk mengganti kerugian bagi kecelakaan
kapal tangki. Ketiga negara juga sependapat agar penggantian kerugian bagi
negara pantai atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakan kapal-kapal
tangki raksasa dapat dilakukan secara cepat, wajar, dan sepadan. Mereka
sepakat untuk memepelajari soal ini lebih lanjut.
Pertemuan
ini juga sepakat untuk menyatakan prihatin atas kecelakaan Showa Maru dan
membentuk badan setingkat Menteri Luar Negeri yang disebut Council for the Safety of Navigation and
the Control of Marine Pollution in the Straits of Mallacca anda Singapore .
Council of Minister itu akan
bertugas untuk mengatur soal-soal yang berhubungan dengan keselamatan
pelayaran, usaha-usaha anti-polusi, dan soal-soal yang berhubungan dengan
kompensasi pencemaran laut karena tumpahan minyak. Hingga kini, belum
diketahui pasti adakah follow-up
dari Council of Minister tersebut
dalam bentuk program aksi yang nyata dan sudah dilaksanakan di lapangan.
Karena
pertemuan Menteri Luar Negeri tersebut belum mencapai kata sepakat tentang
pembatasan draf (sarat) kapal yang lewat, masalah ini diserahkan kepada Tim
Ahli untuk dipelajari lebih lanjut. Tim Ahli tersebut mengadakan pertemuan
di Singapura pada 30 Juni - 2 Juli 1975 dan dilanjutkan kemudian pada
pertemuan berikutnya di Jakarta pada 10-12 September 1975. Tampaknya,
masalah terbesar yang dihadapi untuk menentukan pembatasan draf kapal yang
lewat adalah Under Keel Clearance (UKC),
yaitu kedalaman air di bawah kapal yang diperlukan oleh kapal tangki
raksasa untuk melewati Selat Malaka-Singapura dengan aman. Dapat diduga,
kesulitan yang terjadi adalah karena Indonesia dan Malaysia menginginkan safety margin yang sebesar
mungkin, dan karena itu menghendaki UKC yang cukup besar pula (Indonesia
dan Malaysia mulanya mengusulkan 4.4 meter), sedangkan Singapura merasa
puas dengan safety margin yang
benar-benar diperlukan saja, dan karena itu menghendaki UKC yang secukupnya
saja untuk memperbesar draf dan tonnage kapal-kapal
yang lewat (Singapura mulanya mengusulkan UKC 2.5 meter). Setelah melalui
perundingan dan studi yang lama dan mendalam, bahkan kadang-kadang tidak
mudah, dalam pertemuan tripartit di Jakarta pada Desember 1976, ketiga
negara akhirnya sepakat untuk menerima UKC setinggi 3.5 meter. Kesepakatan
ini kemudian direstui oleh Pertemuan Menteri Luar Negeri ketiga negara
pantai pada Pebruari 1977 di Manila, tepatnya saat Pertemuan
Menteri-Menteri Luar Negeri ASEAN berlangsung.
Jelaslah
bahwa beberapa kemajuan yang sangat berarti telah dicapai tentang perlunya
keselamatan pelayaran di Selat Malaka-Singapura ini. Beberapa kesepakatan
yang dihasilkan adalah pemberlakuan traffic
separation scheme (TSS) dan ketiga negara pantai itu pada
dasarnya juga telah mempersiapkan konsep TSS itu. Ketiga negara pantai juga
telah bersepakat bahwa TSS tersebut akan disertai aturan-aturan tersendiri
yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan khusus di Selat Malaka-Singapura,
termasuk perlunya ketentuan tentang pembatasan UKC minimum 3.5 meter bagi
setiap kapal yang melewati selat dan bahwa pembatasan UKC itu harus
merupakan bagian integral dari pengaturan keselamatan di selat itu.
Penyelesaian Soal Selat Malaka dalam IMCO
Seiring
dengan tercapainya kesepakatan di antara ketiga negara pantai itu tentang
pembatasan UKC minimum 3.5 meter yang harus dipertahankan oleh setiap kapal
yang lewat di sepanjang Selat Malaka-Singapura, masalah-masalah yang telah
matang itu akan segera dikonsultasikan dengan IMCO ( Inter Governmental Maritime Consultative
Organization ) yang berpusat di London. Langkah ini dilakukan
untuk mendapatkan pandangan-pandangan teknis dari badan organisasi
internasional tersebut.
Pertemuan
pertama antara ketiga negara pantai dengan sub-komite IMCO tentang
keselamatan pelayaran diadakan di London pada Oktober 1977. Dalam pertemuan
itu, rencana TSS negara pantai pada umumnya mendapat dukungan, kecuali di
beberapa tempat tertentu para ahli IMCO mengusulkan beberapa
perubahan-perubahan karena pertimbangan-pertimbangan teknis atas
keselamatan pelayaran. Setelah mendapatkan beberapa pandangan teknis dari
IMCO, para anggota Tim Ahli ketiga negara pantai akan mempertimbangkan
kembali. Kesepakatan pun dicapai untuk sejauh-mungkin mengambil manfaat
dari usul para ahli IMCO tersebut.
Konsep
ketiga negara pantai tentang TSS yang disertai oleh berbagai aturan
pelengkap itu, termasuk pembatasan UKC minimum 3.5 meter bagi setiap kapal
yang berlayar di Selat Malaka-Singapura, diajukan kembali pada Sidang
Assembly IMCO yang diadakan pada Nopember 1977 di London. Assembly IMCO
juga menerima saran dan menyetujui ( adopt )
konsep dari negara pantai yang sejauh mungkin telah disesuaikan dengan
usul-usul para ahli IMCO. Usulan lanjutan ini disertai oleh segala macam
aturan khusus yang perlu diperhatikan untuk keselamatan pelayaran di selat
tersebut.
Hemat
kami, persoalan ini menjadi sangat unik dan menarik. Dikatakan demikian
karena baru pertama kali, sepanjang sejarah hukum laut, terjadi TSS yang
disertai oleh aturan-aturan khusus, terutama pembatasan-pembatasan terhadap
UKC. Biasanya, TSS yang diterima oleh IMCO hanya sebatas routing system yang diatur
sesuai dengan aturan-aturan TSS IMCO ( rule 10 )
tanpa ada pembatasan terhadap UKC. Jadi, perjuangan politis Indonesia
bersama negara-negara pantai lainnya untuk menyatukan pandangan dalam
memajukan keselamatan pelayaran selat Malaka-Singapura mencapai hasil yang
positif. Kini, tantangan berat yang harus dihadapi adalah langkah
pelaksanaan TSS dengan segala aturan-aturannya yang telah mendapat restu
dan pengakuan dunia internasional. Ternyata, tahap pelaksanaan TSS dengan
aturan UKC 3.5 meter tersebut dihadapkan pada persoalan yang rumit dengan
Jepang.
Sejak
semula, Jepang merasa keberatan dengan ketentuan UKC 3.5 meter tersebut.
Negara bunga sakura ini merasa bahwa UKC 3 meter lebih dari cukup karena
delegasi menurut Jepang, UKC 2.5 meter saja sudah memadai. Karena ketetapan
negara pantai UKC 3.5 meter itu, Jepang menghendaki agar prinsip transitional period yang
batasan waktunya 5 tahun dapat diterima. Pelaksanaan prinsip dimulai sejak
berlakunya TSS atau sejak diterimanya TSS tersebut oleh IMCO, terutama
terhadap kapal tangki Jepang atau kapal-kapal tangki yang di charter oleh Jepang yang
selama ini telah berlayar melalui selat-selat tersebut dengan UKC 3 meter.
Kini, masa transisi telah berlalu sehingga yang berlaku di Selat
Malaka-Singapura adalah UKC 3.5 meter.
Perkembangan dalam Konferensi Hukum Laut
Selat
Malaka-Singapura menjadi relevan dalam perdebatan-perdebatan di Konferensi
Hukum Laut mengenai “selat” secara umum, khususnya dalam Sub-komite II dari
United of Nations Seabed Committee dan
Komite II Konferensi Hukum Laut. Dua badan atau lembaga internasional ini
bertugas untuk membahas rezim hukum yang akan berlaku bagi selat-selat yang
dipakai bagi pelayaran internasional.
Dalam United of Nations Seabed Committee itu,
Indonesia yang disokong oleh negara-negara selat lainnya seperti Malaysia,
Filipina, Spanyol, Maroko, Yunani, dan Yaman tidak mengakui adanya konsepsi
international straits dengan
rezim free transit seperti
yang diinginkan Amerika Serikat dan Uni Soviet (waktu itu). Sebaliknya,
Indonesia justru menghendaki konsepsi straits
used for international navigation yang di dalamnya rezim yang
diberlakukan adalah rezim innocent
passage , bukan free
transit.
Hakikat
dari perbedaan kedua rezim tersebut sangat jelas. Konsepsi international straits bertolak
dari pangkal pikiran bahwa selat tersebut berstatus internasional, walaupun
mengakui adanya kepentingan-kepentingan negara pantai yang bersangkutan dan
perlu diperhitungkan. Misalnya, dalam soal-soal pencegahan pencemaran laut.
Namun, dalam konsepsi ini, klausul yang lebih diutamakan adalah kepentingan
pelayaran internasional yang tidak bolah terganggu, bukan kepentingan
negara pantai. Sebaliknya, konsepsi straits
used for international navigation bertolak pangkal dari pikiran
bahwa selat-selat tersebut menjadi bagian dari perairan nasional negara
tepinya yang hanya secara kebetulan dipergunakan bagi pelayaran
internasional. Karena itu, pertimbangan yang penting harus diberikan kepada
kepentingan negara pantai, walaupun kepentingan pelayaran internasional
harus tetap dipertimbangkan dan diperhatikan secara seimbang. Konsep straits used for international navigation
inilah yang kemudian diterima dalam Konvensi Hukum Laut (Hukla)
1982, Part II pasal 34-45.
Konsepsi
innocent passage menekankan
pertimbangan tentang pentingnya pemeliharaan kepentingan negara pantai
karena, menurut hukum internasional yang ada waktu itu ( Geneva Convention , 1958),
pelayaran kapal-kapal asing melalui laut wilayah harus innocent terhadap negara
pantai. Misalnya, kapal selam harus berlayar di permukaan air. Sebaliknya,
konsepsi free transit menekankan
perlunya kapal, termasuk kapal perang dan kapal selam untuk secara bebas
dapat melewati perairan selat itu. Jika konsepsi free transit diterima, kapal
selam, misalnya, akan dapat berlayar melalui selat itu di bawah permukaan
air, sedangkan kapal terbang militer akan dapat terbang dengan bebas di
atas selat-selat tersebut.
Perumusan
Indonesia tersebut dapat dipertahankan dalam draf yang dibuat oleh Kelompok
Asia Afrika. Lalu, setelah perundingan-perundingan yang cukup lama dengan
negara-negara Amerika Latin, rumusan itu pun dapat dipertahankan dalam list of issues yang dibuat
oleh negara-negara yang sedang berkembang (Kelompok 77). Perumusan itu
kemudian secara resmi diajukan kepada Sub-Komite II yang disponsori oleh 56
negara (selain Singapura), termasuk RRC dan Rumania yang menyatakan
dukungan atas list of issues yang
dibuat oleh Kelompok 77 tersebut.
Perumusan
seperti yang dikehendaki oleh Indonesia-Malaysia dan disokong oleh
kira-kira 2/3 anggota United
of Nations Seabed Committee . Rumusan yang berbunyi “straits:
used for international navigation, innocent passage”, ternyata mendapat
tantangan yang sangat hebat dari Amerika Serikat, Uni Soviet (saat itu),
dan negara-negara Komunis Eropa Timur lainnya yang menghendaki diterimanya
konsepsi international straits dan
free transit . Setelah
perdebatan-perdebatan yang cukup alot dan konsultasi-konsultasi yang lama, United of Nations Seabed Committee ,
akhirnya berhasil mencapai perumusan kompromi yang akan dimasukkan ke dalam
Konferensi Hukum Laut tentang masalah ini, yaitu poin 4 yang bernama straits used for international navigation
dengan subpoin innocent
passage dan other
related matters including the question of the right of transit.
Karena
itu, posisi negara-negara selat dalam membela prisip-prinsip innocent passage melalui
selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional pada mulanya cukup
kuat karena mendapat dukungan yang cukup dari negara-negara sedang
berkembang. Posisi itu mendapat dukungan yang penting pula dari Organisasi
Persatuan Afrika (OPA) yang dalam Deklarasi Addis Adeba (1973) menyatakan
bahwa “ the African States, in view
of the important of international navigation through straits udes as such,
endorse the regim of innocent passage in principle but recognice the need
for futher precision of the regim ”. Tetapi, dalam Konferensi
Hukum Laut, negara-negara maritim besar, khususnya Amerika Serikat dan Uni
Soviet melancarkan kampanye besar-besaran di seluruh dunia. Mereka
mengatakan bahwa mereka tidak menerima konferensi yang tidak mengakui rezim
pelayaran free transit atau
unimpeded transit passage melalui
selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional.
Dukungan
kepada prinsip-prinsip innocent
passage yang dipegang teguh oleh negara-negara selat mulai
merosot. Masalah ini ditambah lagi oleh semakin berkurangnya perhatian di
kalangan negara-negara Afrika dan Amerika Latin untuk mendukung konsepsi innocent passage melalui
selat tersebut secara konsekuen. Negara-negara ini, pada dasarnya, bukanlah
negara-negara yang mempunyai selat-selat terpenting yang dipakai bagi
pelayaran internasional, kecuali beberapa negara yang kebetulan terletak di
pinggir selat-selat tersebut (misalnya, Maroko). Selain itu, di kalangan
negara-negara selat sendiri terdapat perbedaan-perbedaan pikiran dan
praktek tentang masalah ini. Karena itu, dalam Konferensi Hukum Laut
terdapat tendensi yang cukup kuat untuk mencarikan rezim pelayaran tersendiri
dan objektif melalui selat, yaitu rezim pelayaran yang bukan innocent passage atau free transit , tetapi “rezim
kompromi” yang di satu pihak mengakui soverenitas dan wewenang-wewenang
tertentu negara-negara selat atas selat mereka, di lain pihak, memberi
jaminan tidak akan diganggunya pelayaran transit yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara internasional dalam
Konvensi. Rezim kompromi itu merupakan konsesi yang sangat besar dari
negara-negara selat, khususnya Indonesia, kepada negara-negara maritim
besar.
Pasal 16
ayat 4 Konvensi Geneva 1958 mengakui dan menetapkan bahwa rezim pelayaran
melalui selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional adalah rezim innocent passage. Ketentuannya,
innocent passage itu tidak boleh
di suspended (perbedaan
dengan rezim innocent passage melalui
laut wilayah yang biasa adalah dalam laut wilayah yang biasa innocent passage tersebut
boleh di suspended karena
alasan-alasan keamanan dan lain-lain.
Penyelesaian dalam Konferensi Hukum Laut
Setelah
berbagai pertemuan, perundingan, dan konsultasi berjalan selama beberapa
tahun antara negara-negara selat dan negara-negara maritim, akhirnya,
tercapailah rezim kompromi dari kedua pandangan tersebut. Salah satu rezim
yang dimaksud adalah rezim “transit passage” sebagaimana yang dirumuskan
dalam Konferensi Hukum Laut 1982, pasal 34-45. Menurut “rezim kompromi”
ini, kedaulatan wilayah ( sovereignty
) negara pantai atas wilayah lautnya di selat yang dipergunakan
bagi pelayaran internasional, termasuk kewenangan atas air, udara, dasar
laut dan tanahnya diakui secara resmi, dan bahwa rezim transit passage yang akan
diberlakukan bagi selat-selat yang digunakan bagi pelayaran internasional
itu tidak akan mempengaruhi pelaksanaan soverenitas
atau yurisdiksi negara
pantai atas perairan tersebut, baik atas udara maupun dasar lautnya (pasal
34 ayat 1 UNCLOS, 1982). Ketentuan ini sangat penting artinya karena dengan
demikian, sepanjang yang berhubungan dengan Indonesia, hal tersebut
merupakan pengakuan atas soverenitas
(kedaulatan) wilayah Indonesia atas Selat Malaka dan Selat
Singapura yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Sebaliknya,
di selat yang dipakai bagi pelayaran internasional tersebut (Selat
Malaka-Singapura), rezim pelayaran yang diberlakukan bukanlah rezim innocent passage seperti
ketetapan bagi laut Indonesia lainnya, tetapi rezim transit passage , yaitu rezim
pelayaran yang memberikan kebebasan untuk lewat bagi kapal-kapal pengangkut
dan kapal-kapal terbang asing untuk berkomunikasi dari bagian laut bebas
(Zone Ekonomi Eksklusif, ZEE) ke laut bebas ZEE lainnya (pasal 38 ayat 2
UNCLOS). Kebebasan yang diakui itu hanyalah kebebasan untuk lewat dengan
disertai syarat-syarat yang ditetapkan dalam Konvensi (pasal 39 UNCLOS).
- Keharusan
untuk lewat dengan segera ( proceed
without delay through or over the straits );
- Keharusan
untuk tidak mengambil tindakan yang dapat merupakan ancaman atau
mempergunakan kekerasan terhadap kedaulatan, integritas wilayah, atau
kemerdekaan politik negara selat tersebut;
- Keharusan
untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak ada hubungannya
dengan keperluan untuk lewat secara terus-menerus dan secara cepat
dengan cara-cara yang normal (normal mode); dan
- Keharusan
untuk mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan dalam
Konvensi bagi kapal-kapal yang lewat atau kapal-kapal terbang yang
sedang transit.
Selain
hak untuk lewat secara bebas sesuai dengan persyaratan aturan tertentu bagi
kapal pengangkut dan kapal-kapal terbang untuk melintasi “selat-selat yang
dipakai bagi pelayaran internasional” tersebut, negara pantai selat juga
diakui mempunyai wewenang tertentu untuk membuat aturan-aturan mengenai transit passage (pasal 42
ayat 1 HUKLA) yang berhubungan dengan berapa hal berikut:
- Keselamatan
pelayaran dan pengaturan lalu-lintas laut sepanjang yang berhubungan
dengan penetapan alur-alur laut dan TSS;
- Pencegahan,
pengurangan dan pengontrolan pencemaran laut dengan melaksanakan
aturan-aturan internasional yang berlaku yang berhubungan dengan
pembuangan minyak dan bahan-bahan yang berbahaya lainnya;
- Usaha-usaha
untuk mencegah kapal-kapal ikan asing lewat menangkap ikan pada waktu
lewat;
- Usaha-usaha
untuk mencegah pelanggaran aturan-aturan pabean, keuangan, imigrasi,
dan kesehatan negara pantai.
Salah
satu hal yang sangat penting, dalam hal ini, adalah telah disepakatinya
satu pasal yang diinginkan oleh Indonesia (dan Malaysia ), yaitu pasal 43
Konvensi HUKLA 1982. Pasal ini menghendaki agar negara-negara pemakai selat
untuk membantu negara pantai dalam meningkatkan keselamatan dan
perlindungan lingkungan laut di selat-selat tersebut. Pasal tersebut
berbunyi “ user states and states
bordering a strait should by agreement cooperate: (a) in the establishment
and maintenance in a strait of necessary navigational and safety aids or
ither improvement in aid of international navigation; and (b) for the
prevention, reduction and control of pollution from ships ”.
Seiring
dengan tercapainya rezim kompromi ini, berarti rezim hukum internasional
melalui selat tersebut telah diselesaikan. Penyelesaian ini, walaupun tidak
seratus persen seperti yang diinginkan Indonesia, kiranya dapat menjamin
kepentingan-kepentingan Indonesia yang pokok: (1) diakuinya kedaulatan
wilayah Indonesia atas Selat Malaka-Singapura;(2) diakuinya prinsip bahwa
hak kapal-kapal asing untuk lewat tidak akan mempengaruhi pelaksanaan
wewenang dan kedaulatan Indonesia atas kekayaan alam yang ada di selat itu;
dan (3) Indonesia masih dapat membuat aturan-aturan untuk menjaga
keselamatan pelayaran dan lalu-lintas di selat tersebut, serta untuk
memelihara kepentingan-kepentingan lainnya.
Sebaliknya
, Indonesia tidak boleh menghalang-halangi kapal atau kapal-kapal terbang
asing yang hanya lewat; tidak boleh mengambil tindakan yang semena-mena
atas kapal-kapal yang lewat; dan tidak boleh mensyaratkan kapal selam untuk
berlayar di atas permukaan laut atau mensyaratkan kapal-kapal perang untuk
meminta izin atau memberitahukan terlebih dahulu kepada negara pantai.
Agaknya, dari segi kepraktisan, hal ini pun tidak dipersoalkan karena
Indonesia , selama ini, juga tidak mensyaratkan kapal selam untuk berlayar
di bawah permukaan laut melalui selat tersebut (perairan Selat
Malaka-Singapura). Sebenarnya, syarat pemberitahuan atau meminta izin
sebelum lewat pun tidak banyak memberi manfaat karena kapal yang lewat
dapat diketahui dengan mudah mengingat perairan selat tersebut sempit dan
mudah diamati.
Seiring
dengan tercapainya perumusan klausul dalam HUKLA tersebut, perjuangan
Indonesia untuk menegakkan kedaulatan wilayahnya di Selat Malaka-Singapura,
pada dasarnya juga sudah selesai. Kini, masalah baru yang muncul adalah
langkah untuk mengisi dan melaksanakan kedaulatan tersebut sesuai dengan
teks HUKLA 1982 yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yakni UU No.
17/1985 yang telah diberlakukan secara internasional sejak 16 November
1994.
Kesimpulan
Berbagai
kemajuan tentang Selat Malaka-Singapura, sesungguhnya telah dicapai seperti
(1) diakuinya kedaulatan wilayah negara pantai atas selat-selat itu; (2)
dilakukannya hydrographic survey yang
lebih intensif yang kemudian menghasilkan peta-peta yang lebih akurat; (3)
dipasangnya berbagai lampu dan alat-alat bantu navigasi di sepanjang selat;
(4) ditetapkannya traffic
separation schemes (TSS) melalui IMCO di sepanjang Selat
Malaka-Singapura; (5) dibatasinya kedalaman air yang harus ada di bawah
kapal-kapal yang lewat minimal 3,5 meter ( under keel clearance ); dan (6) ketentuan
keselamatan pelayaran lainnya seperti pilotage
dan reporting system; (7)
kesediaan Jepang memberikan bantuan revolving
fund untuk membantu penanggulangan pencemaran laut oleh
kapal-kapal yang lewat di kedua selat tersebut. Perjuangan untuk
mendapatkan capaian-capaian tersebut dilakukan berdasarkan kerja sama
antara tiga negara dengan bantuan keuangan dari Jepang dan IMCO.
Sayangnya,
pertemuan Dewan Menteri tidak berlanjut setelah persoalan keselamatan
pelayaran melalui IMCO itu selesai. Di sisi lain, Panitia Pejabat Senoir
yang berdomisili di Indonesia pun diketahui oleh DEPLU telah menghilang
sejak tercapainya kesepakatan-kesepakatan tersebut sehingga penanganan
persoalan Selat Malaka berkembang menjadi penanganan teknis semata-mata
yang dilaksanakan oleh TTEG. Pelaksanaan teknis ini tanpa guidelines kebijakan politik
dan hukum yang jelas dari DEPLU. Misalnya mengenai interpretasi dan
implementasi pasal 45 HUKLA 1982.
Ketentuan-ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berhasil diperjuangkan oleh Indonesia, yaitu
pasal 43 yang mengharuskan negara-negara pemakai selat untuk dapat membantu
peningkatan keselamatan pelayaran dan memelihara lingkungan laut selat
tersebut (setelah lebih dari 20 tahun Konvensi Hukum Laut diterima), tidak
ada negara pemakai selat selain Jepang yangt membantu negara pantai,
khususnya Indonesia dalam meningkatkan keselamatan pelayaran, termasuk
keamanan, dan memelihara lingkungan laut dari pencemaran karena kapal di
kedua selat tersebut. Secara pribadi, penulis telah berkali-kali
mengingatkan negara-negara maritim dan pemakai selat dalam berbagai
pertemuan dan konferensi internasional tentang kewajiban ini. Padahal,
negara-negara pemakai selat, baik untuk kapal perang, kapal tanker maupun
kapal dagang, selalu mengeluhkan ketidakmampuan negara-negara pantai
seperti Indonesia dalam menjaga dan meningkatkan keselamatan pelayaran.
Tetapi, mereka sendiri tidak melaksanakan kewajibannya berdasarkan pasal 43
Konvensi HUKLA 1982 tersebut.
Akhir-akhir
ini, Singapura dan negara-negara maritim besar lainnya kembali meributkan
masalah bajak laut atau
perompakan yang meningkat di kedua selat tersebut dan diperparah lagi oleh
“koalisi” bajak laut dan terorisme. Oleh mereka, kondisi ini menjadi alasan
untuk (1) mempersenjatai kapal-kapal dagangnya yang lewat; (2) mengawal
kapal-kapalnya yang lewat dengan coastguard
atau Angkatan Laut; (3) menyewa Angkatan Laut asing, seperti
Angkatan Laut India, untuk mengawal kapal-kapal mereka yang membawa
muatan-muatan yang sensitif melalui Selat Malaka-Singapura; dan (4)
menempatkan Angkatan Lautnya di kedua selat tersebut untuk menjaga keamanan
di kedua selat tersebut. Negara yang akhir-akhir ini banyak disebut adalah
Amerika Serikat (meskipun dibantah oleh Amerika Serikat karena mendapat
reaksi negatif dari Indonesia dan Malaysia ). Dalam setiap kesempatan dan
pertemuan internasional, penulis selalu menyatakan keberatan atas rencana
atau keinginan tersebut, antara lain, karena dapat melanggar kedaulatan
wilayah negara pantai (misalnya, Indonesia ) atas laut wilayahnya
sebagaimana diakui oleh Konvensi HUKLA 1982. Masalah tersebut juga dapat
membawa konfrontasi-konfrontasi dengan penegak hukum dan Angkatan Laut
Indonesia sendiri di perairan Indonesia.
Kini,
keinginan untuk “menginternasionalisasikan” pengelolaan Selat
Malaka-Singapura muncul kembali, terutama Singapura dengan menggunakan
pasal 43 Konvensi HUKLA 1982 sebagai dalih. Logika yang mereka sampaikan
bahwa “negara pemakai selat” sulit sekali diharapkan membantu negara-negara
pantai untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, keamanan, dan pemeliharaan
lingkungan laut tanpa mereka sendiri ikut mengatur kedua selat itu. Dalam
hal ini, penulis berpendapat bahwa negara-negara pemakai selat tersebut
dapat membantu negara-negara pantai atau negara-negara selat untuk
meningkatkan keselamatan pelayaran, termasuk penanggulangan perompakan dan
terorisme, serta pemeliharaan lingkungan tanpa perlu ikut-serta dan
terlibat untuk mengatur atau menginternasionalisasikan kedua selat
tersebut.
Sejalan
dengan masalah itu, muncul kembali ke permukaan pemikiran-pemikiran untuk
meregionalisasikan persoalan Selat Malaka-Singapura dengan menjadikannya
masalah ASEAN. Hemat penulis, walaupun gagasan ini tampak bermotif baik,
tetapi ia dapat bertabrakan dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah
dicapai sejak 1971, yakni bahwa hanya ketiga negara pantai yang mempunyai
kedaulatan atas pengelolaan selat tersebut.
Pada
19-21 Mei 2004 lalu, di Singapura diadakan seminar mengenai Maritime Security in East Asia . Seminar
ini yang digagas dan diorganisasikan oleh Institute of Strategic and
Defence Studies Singapura. Dalam kesempatan tersebut, penulis menyampaikan
sebuah paper yang berkaitan dengan bajak laut atau perompakan di Asia
Tenggara. Persoalan Selat Malaka-Singapura yang mencuat ke permukaan sangat
menonjol dalam seminar tersebut. Sayangnya, seminar ini lebih banyak
dihadiri oleh negara-negara maritim seperti Amerika Serikat, Australia,
Eropa Barat, dan Jepang, dan tidak atau kurang mendapat perhatian dari
Indonesia dan Malaysia.
Kini,
kita mencatat ada beberapa perkembangan baru yang sangat menarik. Dulu,
peranan “kedaulatan wilayah” sangat menonjol dan karena itu, ketiga negara
pantai bersepakat untuk bekerja sama dalam penegakan hukum dan kedaulatan
atas selat tersebut. Lalu, negara-negara pantai itu membentuk coordinate patrol , bahwa
patroli keamanan laut tidak boleh memasuki laut wilayah negara lain dalam
pelaksanaan hot pursuit, mengejar
penjahat, sesuai dengan ketentuan pasal 111 ayat (3) Konvensi HUKLA 1982.
Indonesia, kini, kelihatannya bersedia untuk mengembangkan konsepsi coordinate patrol tersebut
menjadi joint patrol yang
memungkinkan para penegak hukum negara tetangga, termasuk angkatan lautnya,
untuk memasuki laut wilayah tetanggta lainnya di selat tersebut ( The Jakarta Post, 15 Juli 2004 ).
Berdasarkan
masalah-masalah tersebut, penulis menyarankan beberapa hal kepada
pemerintah Indonesia untuk (1) meningkatkan kembali perhatiannya terhadap
segi-segi politik, hukum, pertahanan dan keamanan di Selat
Malaka-Singapura; (2) membangun prakarsa untuk menghidupkan kembali
pertemuan tiga Menteri antara Indonesia, Malaysia, dan Singapura; (3) mengaktifkan
Panitia Selat Malaka untuk membahas hal-hal yang lebih bersifat
kebijakan-politis tentang interpretasi yang benar dari pasal 43 Konvensi
HUKLA 1982 tanpa menginternasionalisasikan atau meregionalisasaikan
pengelolaan selat-selat tersebut; dan (4) meningkatkan kemampuan dan
anggaran belanja untuk memperkuat usaha-usaha penegakan hukum, keamanan,
dan kedaulatan Indonesia atas kedua selat tersebut.
**
Makalah ini disampaikan pada seminar mengenai Selat Malaka yang
diselenggarakan oleh Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan pada
tanggal 13 Januari 2006 di kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta.
|
No comments:
Post a Comment