CHARTER KAPAL
DALAM HUKUM INDONESIA
Berdasarkan hukum Indonesia,
ketentuan-ketentuan mengenai charter party secara umum diatur dalam buku II
Kitab Undang-undang hukum Dagang (KUHD), khususnya mengenai charter waktu dan
charter perjalanan, sedangkan untuk charter tanpa awak diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata ( KUHPer) mengenai sewa menyewa.
BILL OF LADING (B/L)
B/L atau konosemen adalah suatu
dokumen transpor melalui laut yang sangat luas dipakai dalam perdagangan
internasional.
Definisi B/L.
- Hamburg Rules
“Bill of lading means a document which evidences a contract of carriage by sea and the taking over or loading of the goods againts surrender document. A provision in the document that the goods are to be delivered to the order of a named person, or, to order, or to bearer, constitutes such an undertaking”.
- Pasal 506 KUHD.
“Konosemen adalah suatu surat yang bertanggal, dalam mana si pengangkut menerangkan, bahwa ia telah menerima barang-barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tempat tertentu dan menyerahkannya”.
Seperti diketahui konosemen memiliki tiga fungsi pokok, yaitu :
a). merupakan bukti penerimaan barang (document of receipt),
b). merupakan
bukti adanya perjanjian pengangkutan (evidence of contract carriage),
c). dokumen yang
dapat diperdagangkan (document of title and negotiable instrument).
Ketentuan mengenai B/L dapat dilihat
dalam pasal 506 KUHD dan seterusnya (506, 507,509, 510, 513, 514, 515, 516, 517
& 517A ), pasal III ayat 3 Hague Rules dan pasal 14 ayat 1 Hamburg Rules.
Aspek Hukum Internasional
B/L atau konosemen yang merupakan dokumen yang digunakan dalam perdagangan internasional tidak terlepas dari pengaruh hukum internasional. Hague Rules & Hague Visby Rules serta Hamburgh Rules terutama yang menginggung masalah tanggung jawab pengangkut sering dijadikan dasar dari klausula-klausula B/L. Namun perlu dicatat bahwa sampai saat ini Indonesia belum meratifikasi konvensi-konvensi tersebut di atas. Adapun mengenai yurisdiksi yang digunakan dalam hal terjadi sengketa adalah jurisdiksi Negara dimana B/L tersebut dikeluarkan.
Persamaan Hague/Hague Visby Rules
dan Hamburgh Rules adalah dalam hal unsur-unsur substansi dan fungsinya sebagai
dokumen transport.
Perbedaannya adalah
a.
ketentuan-ketentuan dalam Hague
Rules hanya berlaku bagi pengangkutan melalui laut dengan menggunakan B/L,
sedangkan dalam Hamburg Rules, dokumen transport yang menggunakan B/L atau yang
bukan B/L ( misalnya sea-way bill ) dapat menggunakan ketentuan Hamburgh Rules.
b.
lingkup tanggung jawab pengangkut
dalam Hamburgh Rules lebih luas dibandingkan dengan Hague/Hague Visby Rules.
Point 2 diatas merupakan salah satu
hambatan yang menyebabkan konvensi tersebut sulit untuk dapat diterima oleh
negara-negara maritim tradisional.
B/L dan Perbankan
B/L memegang peranan penting dalam
perdagangan internasional, dimana sangat terkait dengan sistim pembayaran
internasional. Berdasarkan hal diatas, B/L termasuk pula sebagai salah satu
dokumen penting dalam documentary credit dimana digunakan cara pembayaran
melalui penerbitan letter of credit (L/C) oleh bank yang menjadi penengah antar
penjual/eksportir dan pembeli/importir.
Dalam pasal 8 a UCP dikatakan bahwa
semua pihak yang bersangkutan hanya berurusan dengan dokumen-dokumen dan bukan
dengan barangnya. Hal ini berarti bahwa bank hanya berkepentingan dengan keberesan
dokumen-dokumen seperti yang disebutkan dalam L/C. Bank tidak berurusan dengan
barang yang berupa obyek transaksi. Dalam pada itu dokumen-dokumen yang
diisyaratkan dalam L/C harus disebutkan secara terperinci.
Dokumen-dokumen yang diperlukan
ialah dokumen-dokumen yang diperoleh penjual (beneficiary) pada pengapalan
barang yang dikirim kepada pembeli dan dokumen-dokumen lainnya yang dikeluarkan
oleh pihak-pihak yang berwenang sehubungan dengan pengiriman barang tersebut.
Dokumen-dokumen tersebut diatas antara lain B/L, packing list, invoice dan
polis asuransi serta dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan kualitas,
timbangan, dan ukuran barang (certificate of origins, certificate of quality,
weight certificate). Bank akan menolak pembayaran kepada beneficiary, jika
penyerahan dokumen-dokumen tersebut tidak sesuai dengan syarat-syarat dalam
L/C. Bank juga akan menolak (berdasarkan ketentuan UPC, kecuali disepakati
sebaliknya dalam kredit) B/L yang dikeluarkan oleh perusahaan ekspedisi, dan
B/L yang dikeluarkan untuk pengangkutan dengan kapal layar. Hal tersebut dapat
dimengerti karena yang berwenang mengeluarkan B/L hanya pengangkut, yaitu
perusahaan pelayaran, agennya atau nakhoda
Adakalanya penjual/eksportir meminta
pengangkut untuk mengeluarkan B/L dalam keadaan bersih (clean B/L), dimana
sebenarnya barang tersebut tidak dalam keadaan benar-benar baik tanpa cacat.
Untuk membebaskan pengangkut dari kemungkinan menghadapi tuntutan ganti-rugi
dari penerima barang, lazimnya atas permintaan pengangkut pengirim
barang/penjual/eksportir mengeluarkan surat pernyataan jaminan ganti rugi
(letter of indemnity). Dari segi hukum keabsahan B/L yang demikian itu
diragukan, karena dokumen tersebut tidak mencerminkan kenyataan keadaan barang
yang sebenarnya.
C. PENGGABUNGAN
KETENTUAN CHATER PARTY DALAM BILL OF LADING
Ada dua cara dalam menggabungkan
ketentuan syarat dan pengecualian charter party dalam Bill of Lading yaitu
melalui klausula yang berhubungan erat (germane) dan klausula yang tidak
berhubungan erat (not so germane) dengan pengangkutan. Hal ini digambarkan oleh
Lord Denning dalam pertimbangannya pada pengadilan banding dalam perkara The
Annefield sebagai berikut:
“I would say that a clause which
directly germane to the subject matter of the bill of lading (that is, to the
shipment, carriage, and delivery of goods) can should be incorporated into bill
of lading contract, even though it may involve a degree of manipulation of word
in order to fit exactly the bill of lading. But if the clause is one which is not
thus directly germane, its should not be incorporated into bill of lading
contract unless it is done explicitly in clear word either in bill of lading or
in charter party” Mengacu pada hal diatas, hanya klausula yang mengatur
kegiatan pendukung pengangkutan yang dapat digabungkan dalam ketentuan umum
dalam B/L. Sejauh ini penggabungan ketentuan Charter Party dalam B/L dilakukan
hanya bagi klausula yang terkait dengan pengangkutan barang. Walaupun demikian,
adalah penting untuk membedakan klausula yang menentukan lingkup kontrak dan
yang menentukan lingkup tanggung jawab. Pasal 3 ayat 8 Hague Rule menentukan
batal demi hukum dan tidak mengikat bagi setiap klausula yang tanggung jawabnya
kurang dari apa yang ditentukan dalam konvensi tersebut. Dalam lingkup hukum
Indonesia, kondisi ini juga mungkin terjadi mengingat sesuai Pasal 1339 KUH
Perdata suatu perjanjian tidak hanya mengikat mengenai hak dan kewajiban yang
ditimbulkan, tapi juga tentang hal-hal yang menurut hukum, kepatutan dan
kebiasaan harus dilaksanakan. Berdasarkan hal diatas suatu perjanjian yang
tidak sesuai dengan ketentuan hukum, kepatutan dan kebiasaan dapat terancam
batal.
Dalam lingkup hukum Indonesia
penggabungan ketentuan dalam charter party pada B/L akan sulit dilakukan bila
ternyata sejak awal perjanjian tersebut tampil dalam bentuk baku dan disepakati
secara terpisah, mengingat dalam Pasal 1340 KUH Perdata, terdapat pembatasan
bahwa suatu pihak hanya terikat pada isi perjanjian yang dibuatnya, sehingga
tidak mungkin digabungkan begitu saja tanpa ada persetujuan lebih dulu dari
para pihak tersebut, kondisi ini akan lebih sulit bila antara B/L dan charter
party pihaknya berbeda, apalagi bila tidak dibuktikan dengan persetujuan
masing-masing pihak dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Namun hal dapat
dilakukan bila B/L dalam pembuatannya sudah menggabungkan ketentuan-ketentuan
dalam charter party.
TANGGUNG JAWAB dan GANTI RUGI
Bahwa sudah sejak lama antara
pemilik kapal dan penyewa (charterer), pihak dalam charter party bebas dalam
membagi tanggung jawab dan kewajiban diantara mereka. Namun demikian, adalah
hal biasa pula dalam charter party juga memasukan klausula paramount, yang
mengaitkan ketentuan dalam Hague rule atau Hague Visby rule, Pasal 3 ayat 2,
Hague rule menentukan:
“The carrier shall properly and carefully load, handle, stow, carry, keep, care for and discharge the good carried”
Ketentuan tersebut diatas menekankan bahwa pengangkut harus secara tepat dan berhati-hati dalam melakukan aktifitas pemuatan, pemindahan, penyimpanan, pengangkutan dan bongkar muat atas barang yang diangkut.
A.
Tanggung Jawab Pemilik
Dalam hukum Indonesia belum terdapat
suatu system yang menyeluruh mengenai tanggung jawab pemilik kapal. Walaupun
dalam KUHD terdapat beberapa ketentuan yang tersebar mengenai hal tersebut
(pasal-pasal 474, 475, 525,526 dan 541 KUHD), namun perlu disadari bahwa saat
ini sudah terdapat berbagai konvensi internasional antara lain International
Convention on the Limitation of Liability for Maritime Claims 1976, yang masih
perlu mendapat pengaturan dalam hukum Indonesia.
Berdasarkan hal diatas secara hukum pemilik kapal Indonesia dapat dipertanggungjawabkan dalam jumlah tak terbatas atas tuntutan ganti rugi yang sebenarnya dibatasi dalam konvensi tersebut.
Pemilik berkewajiban menyediakan kapal dalam keadaan seaworthy. Secara implisit maksud dari seaworthy secara umum adalah kapal harus dalam kondisi bagus dan cocok dalam bentuk, struktur, keadaan & peralatannya untuk menghadapi bahaya-bahaya laut, dan mempunyai nakhoda serta crew atau awak kapal yang kompeten. Seaworthyness atau kelaiklautan selanjutnya mencakup “Cargoworthiness”, dimana berarti kapal tersebut juga memiliki peralatan-peralatan yang cocok (misalnya mesin pendingin) untuk menerima dan mengangkut cargo.
Dalam hukum Inggris, pemilik
berkewajiban untuk menjamin atas kelaik lautan kapal dan dia dikenai tanggung
jawab penuh tanpa melihat apakah pemilik sudah atau belum melakukan
pemeriksaan/pengecekan (due diligence) atas kelaik lautan kapal.
Hukum Jerman, Perancis dan Scandinavia
menerapkan prinsip yang berbeda, dimana tanggungjawab didasarkan atas adanya
unsur kelalaian. Pemilik dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya apabila dapat
dibuktikan bahwa pemilik telah melakukan due diligence.
Sebagai tambahan tanggungjawab yang
dibebankan kepada pemilik, adalah tanggungjawab atas keamanan barang yang
dipercayakan kepadanya.
Tanggung jawab yang dimaksud dalam
Hague Rules, pada dasarnya adalah tanggung jawab minimum atas hilang atau
rusaknya kargo yang disebabkan atas kelalaian di pihak pemilik.
Klausula Pengecualian.
Contoh klausula pengecualian tanggung jawab terdapat dalam clause 29 Centrocon dan clause 19 Sovcoal. .
“ Centrocon, clause 29 : “ The
steamer shall not be liable for loss or damage occasioned by the act of GOD, by
quarantine restrictions, by perils of the sea, or other waters, by fire from
any cause or wheresoever occurring, by barratry of the master or crew, by
enemies, pirates, or thieves, by arrests or restraints of princes, rules or
people, by riots, strikes or stoppages of shafts or any latent defect in hull,
machinery, or appurtenances, by collision, stranding or other accidents arising
in the navigation of the steamer, even when occasioned by the negligence,
default or error of judgement of the pilot, master, mariners, or other servants
of the shipowners or person for whom they may be responsible (not resulting;
however, in any case from want of due diligence by the owner of the steamer, or
by the ship`s husband or manager)…………………………
“Sovcoal, Clause 19: “ Throughout the Charter losses or damage whether in rescpect of goods carried or in other respects arising or occasioned by the following causes shall be mutually excepted, viz: Force majeure, perils of the seas, fire on board, in bulk, craft, or on shore, barratry of the master or crew, enemies, pirates, robbers or thieves, arrest and restraints of princes, rules and peoples, collisions and standings, explosion, bursting of boilers, breakage of shaft, or any latent defect, even if existing at the beginning of the voyage, in the hull, boilers, machinery or appurtenances, negligence or error of judgement of the pilot, Master or Crew or other servants of the Vessel, unseaworthiness, provided that the owners have exercised due diligence to make the vessel seaworthy
Secara umum klausula-klausula yang
membebaskan pemilik dari tanggung jawab terhadap hilang atau rusaknya barang
adalah kejadian-kejadian force major (keadaan kahar atau keadaan diluar
kemampuan manusia) antara lain seperti acts of God, perils of the sea (bahaya
laut).
B. Tanggung Jawab Pengangkut
:
Dasar Tanggung Jawab
Pasal 468 KUHD mengemukakan bahwa
pengangkut bertanggungjawab atas barang yang diangkutnya sejak barang diterima
olehnya sampai barang tersebut diserahkannya kepada si penerima.
Ketentuan tersebut tidak cukup tegas
menentukan dimana atau dalam hal apa barang dianggap telah diterima untuk
diangkut dan kemudian diserahkan kepada penerima. Berbeda halnya dengan
ketentuan dalam Hague Rules yang secara tegas mencantumkan bahwa pengangkut bertanggung
jawab atas barang yang diangkutnya sejak barang dimuat kedalam kapal (loading)
sampai barang dibongkar (un-loading) di pelabuhan tujuan.
Namun Konvensi tentang angkutan
melalui laut (Hamburg Rules) lebih tegas lagi dengan mengemukakan bahwa pengangkut
bertanggung jawab atas barang sejak pengangkut menguasai barang di pelabuhan
muat, selama dalam pengangkutan dan di pelabuhan bongkar.
Ketentuan Hamburgh Rules tersebut
seolah-seolah merupakan perpanjangan dari ketentuan dalam Hague Rules, karena
lingkup tanggung jawab pengangkut meliputi penguasaan barang di pelabuhan muat,
dalam perjalanan maupun di pelabuhan tujuan dimana barang masih dalam
penguasaan pengangkut.
Batas Tanggung jawab ganti-rugi
Masalah batas ganti rugi sebagai konsekwensi dan tanggung jawab pengangkut merupakan masalah yang serius dalam hukum maritim Indonesia. Pasal 470 KUHD menyatakan bahwa untuk suatu potong barang yang diangkut, pengangkut hanya bertanggung-jawab untuk memberikan ganti-rugi tidak boleh kurang dari Rp. 600,- kecuali jika sebelum barang diserahkan kepadanya, ia diberitahu tentang sifat dan harga barang tersebut.
Kesenjangan demikian juga dialami
yang menyangkut batas gantirugi tanggungjawab global pengangkut yang
berdasarkan pasal 474 KUHD dapat membatasi jumlah ganti rugi sebesar Rp. 50,-
untuk tiap meter kubik isi bersih kapal ybs.
Dalam kenyataanya perusahaan
pelayaran ybs. umumnya tidak menerapkan ketentuan tersebut dalam menghadapi
tuntutan ganti-rugi, tetapi memilih untuk menggunakan pertimbangan kebijaksanaan
komersial, yaitu melakukan negosiasi sehingga disepakati jumlah ganti rugi yang
dapat diterima oleh pemilik/penerima barang.
Dalam pada itu ketentuan yang
tercantum dalam pasal 470 itu, sebagai ketentuan Undang-undang yang masih
berlaku selalu menimbulkan kekhawatiran pada pihak luar negeri yang mungkin
berhadapan dengan hukum maritim Indonesia.
Namun perusahaan-perusahaan
Indonesia yang berlayar ke/dari luar negeri dalam prakteknya menggunakan
konosemen internasional yang merujuk pada ketentuan ganti-rugi yang tercantum
dalam Hague Rules.
Pasal 5 Hamburg Rules, yang
mengatakan bahwa pengangkut bertanggungjawab ganti rugi (liable) atas kerugian
akibat hilang atau rusaknya barang, demikian pula sebagai akibat kelambatan
dalam menyerahkan barang, apabila peristiwa kehilangan, kerusakan atau
kelambatan tersebut terjadi pada waktu barang berada dalam penguasaan
pengangkut.
Dalam Hague Rules tidak terdapat
sesuatu ketentuan secara eksplisit yang merupakan dasar tanggung jawab ganti
rugi. Namun pasal II Hague Rules mengantipasi tentang kemungkinan kehilangan
atau kerusakan barang, sedangkan dalam Hague-Visby Rules (berdasarkan Protocol
Brussel 1968/perubahaan atas Hague Rules) terdapat suatu ketentuan (pasal IV
bis) yang menegaskan secara eksplisit bahwa ketentuan – ketentuan mengenai
batas tanggungjawab gantirugi berlaku dalam hal adanya tuntutan ganti rugi
terhadap pengangkut mengenai kehilangan atau kerusakan barang tanpa
mengindahkan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada suatu kontrak atau
perbuatan melawan hukum. Azas tanggung jawab ganti rugi timbul jika terdapat
unsure kesalahan yang menimbulkan tuntutan ganti rugi.
Seberapa jauh Indonesia akan memepertimbangkan untuk memasukkan ketentuan tetang batas ganti rugi menurut Hague/Hague Visby rules atau Hamburg Rules dalam rancangan Undang-undang Maritimya yang baru yang dapat membawa berbagai implikasi masih memerlukan pengkajian yang mendalam.
Perbedaan Tanggung jawab dan Tanggung Gugat Pengangkut
Pembebasan yang dapat diberikan kepada pengangkut dalam hal pengirim barang (shipper) tidak memberikan keterangan yang benar mengenai sifat dan nilai barang sebelumnya atau pada waktu ia menerimanya yang kemudian menimbulkan kerusakan pada barang (pasal 469 dan pasal 478 KUHD). Bahkan pengangkut berhak untuk memperoleh ganti rugi yang dideritanya akibat pemberitahuan yang diberikan kepadanya tidak benar atau tidak lengkap mengenai waktu dan sifat barang, kecuali bila ia telah mengenal atau seharusnya mengenal watak dan sifat tersebut (pasal 478 KUHD)
Pasal IV Hague memuat suatu daftar
mengenai dalam hal – hal apa pengangkut tidak bertanggung jawab ganti rugi atas
kehilangan atau kerusakan barang yang meliputi hal – hal pokok sebagai berikut
:
1.
tindakan, kelalaian atau kesalahan
nakhoda dan awak kapal, pemandu atau orang – orang yang bekerja untuk
penyelenggaraan pelayaraan atau pengelolaan kapal.
2.
kebakaran kecuali jika disebabkan
atau kelalaian pengangkut.
3.
bahaya – bahaya dilaut dan force
majeur (bencana alam, perang, penyitaan kapal oleh penguasa dll)
4.
dan hal – hal lain yang tidak dapat
dibuktikan merupakan kesalahan pengangkut.
Hamburg Rules menghapuskan daftar
immunitas dan membebani pengangkut dengan azas tanggung jawab penuh, dimana
pengangkut hanya bebas dari tanggung jawab dalam keadaan luar biasa yang tidak
dapat dikuasainya ( pasal 5 ayat 1 Hamburg Rules). Dengan demikian menurut
Hamburg Rules pengangkut tetap betanggung jawab atas “navigational fault” yang
dilakukan oleh nakhoda/para pelaut.
C. Tanggung Jawab
Pengirim Barang
Walaupun hukum maritim nampaknya terlalu
memfokuskan perhatian pada aspek-aspek tanggung jawab pengangkut, namun tidak
kurang pentingnya tanggung jawab pengirim barang (shipper) dengan siapa
perjanjian pengangkutan dibuat oleh pengangkut.
Tidak banyak terdapat ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan dan konvensi-konvensi internasional mengenai
tanggung jawab pengirim barang. Tanggung jawab pengirim barang terfokus pada
tindakan kelalaian dalam mempersiapkan kondisi barang untuk diangkut.
Hal tersebut menyangkut pengemasan
barang dan pemberian informasi mengenai keadaan barang. Kewajiban ganti rugi
pengangkut tidak berlaku jika kehilangan atau kerusakan barang disebabkan oleh
cacat pada barang itu sendiri (pasal 486 ayat 2 KUHD). Pengangkut berhak atas
ganti rugi karena surat-surat yang diperlukan untuk pengangkutan tidak
diserahkan kepada pengangkut (pasal 478 ayat 1 KUHD). Demikian pula pengangkut
berhak atas ganti rugi disebabkan adanya kerugian karena tidak diberikan
keterangan tentang sifat dan macam barang kepada pengangkut, kecuali apabila
pengangkut dianggap sepatutnya mengetahui hal tersebut (pasal 497 KUHD).
Hague Rules juga memuat beberapa
ketentuan yang mewajibkan pengirim barang antara lain, seperti tercantum dalam
pasal III ayat 5 yang mengatakan bahwa pengiriman dianggap telah memberikan
jaminan kepada pengangkut pada waktu pengapalan mengenai kebenaran tanda,
nomor, jumlah dan berat barang yang diserahkan kepada pengangkut. Pengirim akan
memberikan ganti rugi kepada pengangkut terhadap kehilangna, kerusakan, dan
biaya-biaya yang timbul akibat ketidak-benaran informasi yang diberikan itu.
Sesuai dengan tujuannya untuk
mewujudkan keseimbangan antara kepentingan pengangkut dan pengirim barang,
Hamburg Rules memberikan perhatian lebih luas kepada kewajiban pengirim barang,
termasuk kewajiban terhadap pengamanan barang-barang berbahaya (Hamburg Rules
pasal 12 dan 13)
D.
UPAYA PEMULIHAN HAK DALAM HUKUM
INDONESIA
Dalam praktik di Indonesia,
pertanggung jawaban atas perbuatan atau tindakan pengangkut selain dapat
didasari atas tanggung jawab kontraktual sehubungan dengan tidak terpenuhinya
syarat dalam perjanjian pengangkutan, juga dapat didasari atas tanggung jawab
dalam lingkup kesalahan atau kelalaian dalam berbuat.
Namun hal tersebut diatas, akan
sangat bergantung sekali pada hubungan hukum dalam pengangkutan yang
disepakati, mengingat terdapat kemungkinan sebagai berikut:
a.
Pengangkutan dilaksanakan langsung
oleh pemilik kapal
b.
Pengangkutan dilaksanakan oleh
charterer dari pemilik kapal
c.
Pengangkutan diageni oleh pemilik
kapal atau forwarder tapi dilaksanakan oleh Charterer dari pemilik kapal
Dalam hal yang menjadi pengangkut dalam B/L adalah pemilik kapal atau charterer, maka pertanggung jawaban atas kerugian dapat didasari atas tanggung jawab kontraktual yang ditetapkan pada perjanjian pengangkutan (Bill of Lading), namun dalam hal pihak yang menjadi pengangkut dalam B/L adalah agen, sedang secara teknis kesalahan atau kelalaian dilakukan atau disebabkan oleh charterer atau pemilik kapal maka baik agen, pemilik kapal atau charterer dapat digugat secara bersamaan sehubungan dengan perbuatan atau kelalaian tersebut. Hal ini juga dapat ditempuh dalam hal kerusakan terjadi akibat kelalaian dari aktifitas pemuatan, bongkar muatan, kelalaian dalam penyimpanan, pengikatan maupun penempatan dari muatan.
Masalah lain yang juga menjadi
hambatan dalam pemulihan hak sehubungan dengan B/L adalah masalah pilihan
hukum. Pada B/L selalu ditentukan mengenai pilihan hukum bagi perjanjian
tersebut, dengan kemungkinan sebagai berikut:
1.
Secara jelas mengacu pada hukum
selain hukum Indonesia
2.
Mengacu pada konvesi International
3.
Mengacu pada hukum bendera kapal
pengangkut
4.
Mengacu pada hukum Negara tempat
pelabuhan tujuan.
Kemungkinan tersebut juga digunakan walaupun para pihaknya berada di Indonesia. Dalam praktiknya, putusan pengadilan Indonesia yang menyangkut pilihan hukum asing lebih sering untuk menolak gugatan karena hakim Indonesia tidak mengenal hukum di luar hukum Indonesia.
Kemungkinan tersebut juga digunakan walaupun para pihaknya berada di Indonesia. Dalam praktiknya, putusan pengadilan Indonesia yang menyangkut pilihan hukum asing lebih sering untuk menolak gugatan karena hakim Indonesia tidak mengenal hukum di luar hukum Indonesia.
Dalam kondisi demikian maka cara
yang lazim dilakukan adalah:
1.
meminta ahli yang mengerti hukum
asing tsb, atau
2.
mengajukan perkara tersebut pada
pengadilan dinegara yang menjadi pilihan hukum dalam B/L, baru kemudian
mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia atas dasar putusan pengadilan
asing tersebut.
Dikutip dari : Razif Novwan & Putranto Law firm
No comments:
Post a Comment