PERJANJIAN PENGANGKUTAN KAPAL
A. PENGAKUTAN KAPAL
Pengangkutan memegang peranan
penting dalam lalu lintas perdagangan dalam masyarakat. Peranan pengangkutan
dalam dunia perdagangan bersifat mutlak, sebab tanpa pengangkutan, suatu usaha
tidak mungkin dapat berjalan, barang-barang yang dihasilkan oleh produsen atau
pabrik-pabrik dapat sampai pada tangan pedagang atau pengusaha hanya dengan
jalan pengangkutan, demikian juga agar sampai ke tangan konsumen.
Dalam perkembangan dewasa ini, jasa
pengangkutan melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaan. Khusus dalam
pengangkutan melalui laut, pengangkutan akan melibatkan banyak pihak yang
masing-masing memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing, tergantung pada
pola hubungan yang diinginkan. Dalam lingkup ini kita pasti pernah mendengar
istilah charterer, pemilik kapal, shipper, forwarder dan consignee atau
penerima barang yang lazimnya merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam alur
pengangkutan melalui laut. Mengingat banyaknya pihak yang terlibat, maka yang
harus menjadi perhatian adalah mengenai tanggung jawab dan batasannya dalam
perjanjian pengangkutan dan memulihkan hak.
Secara umum fungsi pengangkutan
ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan
maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai, dari hal ini jelas bahwa
meningkatnya daya guna dan nilai merupakan tujuan dari pengangkutan.
Definisi Pengangkutan
Pengangkutan adalah perjanjian
timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan
diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu
tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan
diri untuk membayar uang angkutan.
Perjanjian Pengangkutan dikenal juga
sebagai Contract of Carriage yang secara umum didefinisikan sebagai: “contract
between a carrier of goods or passengers and the consignor, consignee or
passenger.”
Dalam Black Law Dictonary, terdapat juga istilah “Contract Carrier” yang didefinisikan sebagai berikut: “A carrier which furnished transportation service to meet the needs of shipper”
Dalam Black Law Dictonary, terdapat juga istilah “Contract Carrier” yang didefinisikan sebagai berikut: “A carrier which furnished transportation service to meet the needs of shipper”
Hal ini berbeda juga dengan istilah
Contract of Affreigment yang dalam Black Law Dictionary lebih diartikan sebagai
kontrak penyewaan kapal.
Dalam Pasal 1 huruf b Hagues rules, penggunaan istilah contract of carriage diartikan dalam kondisi sebagai berikut:
Dalam Pasal 1 huruf b Hagues rules, penggunaan istilah contract of carriage diartikan dalam kondisi sebagai berikut:
“"Contract of carriage" applies only to contracts of carriage covered by a bill of lading or any similar document of title, in so far as such document relates to the carriage of goods by sea, including any bill of lading or any similar document as aforesaid issued under or pursuant to a charter party from the moment at which such bill of lading or similar document of title regulates the relations between a carrier and a holder of the same.”
Charter Parties
Charter adalah persetujuan antara
pihak pemilik kapal dengan pihak pen-charter dimana pemilik kapal mengikatkan
diri untuk menyediakan sebuah kapal yang akan digunakan oleh pen-charter, dan
pen-charter mengikatkan diri dengan pembayaran suatu harga. Sedangkan Charter
Parties atau sering juga disebut Charters adalah suatu bentuk kontrak yang
berisikan ketentuan-ketentuan mengenai charter kapal.
Charter Party berasal dari bahasa Latin yaitu Carta Partita .
Jenis charter parties secara umum
dapat dibagi atas 3 jenis yaitu :
a. Bareboat charter ( charter tanpa awak )
a. Bareboat charter ( charter tanpa awak )
b. Voyage charter berdasarkan perjalanan dan
c. Time charter atau charter berdasarkan waktu.
Bareboat / Demise Charter Party
Adalah Charter kapal tanpa awak,
dimana pen-charter harus melengkapi kapal dan menjalankan semua tanggung jawab
terhadap navigasi, manajemen dan pengoperasiannya; karenanya dia bertindak
sebagai pemilik kapal dalam semua aspek penting sepanjang masa charter.
Charter kosong tanpa awak atau
bareboat charter banyak digunakan sebagai modus untuk menguasai dan
mengusahakan sepenuhnya suatu kapal, baik dari segi pertimbangan operasional
maupun financial.
Ketentuan-ketentuan mengenai Charter
tanpa awak atau bareboat charter diatur dalam buku II Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPer”) mengenai sewa menyewa.
Voyage dan Time Charter Party
Pengertian Voyage dan Time Charter
berdasarkan hukum Indonesia terdapat dalam pasal 453 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang ( “KUHD” ).
Charter Menurut Waktu ( Time
Charter) adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu ( si yang mencarterkan
) mengikatkan diri untuk, selama suatu waktu tertentu, menyediakan sebuah kapal
tertentu kepada pihak lawannya ( si pencarter ) dengan maksud untuk memakai
kapal tersebut dalam pelayaran dilaut guna keperluan pihak yang terakhir ini,
dengan pembayaran suatu harga, yang dihitung menurut lamanya waktu.
Charter Menurut Perjalanan ( Voyage
Charter) adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu ( si yang mencarterkan
) mengikatkan diri untuk, menyediakan sebuah kapal tertentu, seluruhnya atau
sebagian, kepada pihak lawannya ( si pencarter ) dengan maksud untuk mengangkut
orang-orang atau barang-barang melalui lautan, dalam satu perjalanan atau
lebih, dengan pembayaran suatu harga pasti untuk pengangkutan ini.
Persamaan Voyage dan Time Charter,
pemiliklah yang mengelola kapal termasuk penunjukan / pengangkatan awak kapal.
Dalam hal navigasi dan manajemen, pemilik bertanggung jawab selama jangka waktu
kontrak.
Perbedaan antara keduanya adalah
:(a) Dalam time
charter kewajiban membayar bunker, port charges, towage dan sebagainya ada pada
pihak pencarter ( see Baltime, clause 4 ), sedangkan dalam voyage charter
pengeluaran-pengeluaran diatas ditanggung oleh pemilik
(b) Di dalam time charter, pen-charter bertanggungjawab atas
segala kerugian-kerugian yang disebabkan oleh nakhoda beserta
officer-officernya atau agen yang menandatangani Bill of Lading atau dokumen
lain yang menyertai order tersebut (dari pen-charter), termasuk adanya ketidak
sesuaian dokumen-dokumen kapal dan hal-hal yang berkenaan dengan barang yang
berlebihan diangkut;
(c) Dasar untuk menghitung freight ( uang tambang – biaya
angkutan). Sebagai aturan, freight berdasarkan voyage charter, ditetapkan sesuai
dengan ukuran kargo atau dalam bentuk penjumlahan perjalanan, sementara di
bawah time charter ditetapkan sesuai dengan waktu yang digunakan.
Yang sering digunakan di Indonesia adalah yang dikeluarkan oleh BIMCO untuk general cargo dengan code name “GENCON”.
Yang sering digunakan di Indonesia adalah yang dikeluarkan oleh BIMCO untuk general cargo dengan code name “GENCON”.
Klausula – Klausula yang Esensial dan Peristilahan-peristilahan dalam Charter Party.
1.
Title of contracting parties. Nama
dari pen-charter dan pemilik kapal.
2.
2. dan 3. Name of the vessel and
warranty of seaworthiness, etc. Jaminan atas kelaiklautan kapal atau sering
disebut ‘Good Ship’. Perlu untk diingat bahwa jika kapal mulai loading atau
memuat barang, pencharter tidak dapat membatalkan dengan alasan tidak laik
laut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kapal yang berlayar dari A ke C lewat B,
harus laik laut dari A sampai C.
3.
Description of the vessel. Umumnya
berisi gross tonnage, nett tonnage serta draft kapal.
4.
Loading dan Discharging Ports.
Penentuan pelabuhan muat dan bongkar dapat dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain : nama pelabuhan dapat disebutkan dalam charter party atau
pen-charter dapat diberi pilihan untuk mengajukan satu atau lebih nama
pelabuhan – pelabuhan muat atau bongkar, yang umumnya merupakan pelabuhan yang
aman, yang terletak dalam range geografikal tertentu.
5.
Cargo to be carried. Dalam voyage
charter disebutkan pula jumlah cargo yang akan dibawa, hal mana tidak perlu
disebutkan dalam time charter. Namun dalam time charter tetap perlu dicantumkan
bahwa barang atau cargo yang diangkut bukan merupakan barang atau cargo yang
dilarang dan juga radius perdagangan atau trading juga perlu ditulis dalam
charter party.
6.
Position of the Vessel (untuk Voyage
Charter). Informasi mengenai posisi kapal harus disebutkan secara tepat dan
detil. Jika pemilik menyebutkan posisi kapal saat ini di kota A and kemudian
pen-charter dapat membuktikan bahwa posisi kapal bukan di kota A maka
pen-charter dapat membatalkan Charter Party. Dalam Time Charter tanggal saat
kapal siap serta tempat penyerahan disebutkan dalam klausula ini.
7.
Remuneration. Untuk Voyage Charter,
freight dibayar berdasarkan jumlah barang yang dibawa, sedangkan untuk Time
Charter, pembayaran didasarkan atas lamanya periode penyewaan.
8.
Lay days and how they count.
Klausula ini hanya berlaku untuk Voyage Charter Party. Dalam Time Charter pemilik
tidak concern mengenai masalah waktu yang digunakan untuk muat dan bongkar
barang.
9.
Days of demurrage and dispatch and
the rate. Penjelasan diatas juga dapat diaplikasikan untuk klausula ini. Jika
kapal dapat muat dan bongkar dalam waktu kurang dari waktu yang ditentukan,
pemilik kapal membayar uang “dispatch” sebagai kompensasi atas waktu yang dapat
di save. Sebaliknya jika waktu yang digunakan untuk muat dan bongkar barang
melebihi waktu yang ditentukan maka pen-charter berkewajiban membayar biaya kelebihan
waktu (demurrage) sebagai kompensasi atas waktu yang hilang.
10.
Brokerage clause. Menyatakan jumlah
kompensasi yang harus dibayarkan kepada broker.
11.
Lien Clause. Hak yang diberikan
kepada pemilik kapal untuk menahan cargo karena tertundanya pembayaran freight
atau hari oleh pen-charter.
12.
Act of God clause. Klausula ini sama
dengan klausula di “The Carriage of Goods by Sea Act “ dan aplikasinya.
13.
Exemptions from liability clause.
Klausula ini termasuk kejadian- kejadian dimana pemilik mengajukan pelepasan tanggung
jawab. Bentuk-bentuk pelepasan tanggung jawab antara lain adalah sebagai
berikut :
a.
Barratry. Adanya kesalahan yang
dilakukan secara sengaja dari nakhoda dan/atau crew tanpa diketahui oleh
pemilik. Perbuatan yang dilakukan oleh Nakhoda dan atau crewnya tanpa bermaksud
menipu atau melakukan penggelapan terhadap pemilik, serta tindakan-tindakan
yang tidak termasuk perbuatan criminal, tidak dapat dikategorikan sebagai
barratry.
b.
Capture and Seizure. Tindakan
pengambilan kapal oleh musuh atau oleh Negara yang sedang berperang atau
pengambilan secara paksa.
c.
Queen`s enemies. Tindakan-tindakan
oposisi yang melakukan perlawanan terhadap pemegang kuasa.
d.
Restraint of Princess. Kejadian
dimana perjalanan kapal terhambat atau terganggu karena ada gangguan dari kekuatan
politik Negara, seperti embargo, atau larangan membawa cargo.
e.
Perils of the sea. Sebagaimana
dijelaskan dalam “Carriage of Goods by Sea Act “.
14.
Averange Clause. Klausula tersebut
menyebutkan bahwa general average dibayarkan berdasarkan peraturan York –
Antwerp.
15.
Arbitration Clause. Perselisihan
akan diselesaikan oleh Arbitrasi ,
16.
Penalty for non-fulfilment clause.
Jumlah yang harus dibayar (penalty) jika terjadi default dalam melaksanakan
perjanjian Charter Party.
17.
Sub-letting Clause. Klausula yang
mencantumkan pemberian ijin atau pelarangan men-subcharter kan kapal.
18.
Deviation and Salvage Clause.
Pemberian ijin atau pelarangan kapal untuk melakukan penyimpangan tujuan untuk
penyelamatan nyawa orang, dan juga untuk tujuan salvage.
Berikut ini klausula-klausula yang sering dimasukkan dalam Time
Charter Party:
1.
Clause as to who pays fuel and port
charges. Klausula ini menetapkan bahwa semua biaya-biaya termasuk bahan bakar
kapal dan biaya-biaya pelabuhan dibayar oleh pen-charter.
2.
Provision that time ceases on
breakdown atau breakdown clause. Adalah penyesuaian (pengurangan) uang sewa
(hire) jika kapal rusak dan berhenti beroperasi. Pada umumnya penyesuaian
diberikan jika kerusakan kapal yang menyebabkan tidak dapat beroperasinya kapal
melebihi waktu 24 jam.
3.
Return of overpaid hire if vessel is
lost. Pemilik kapal tidak dapat men-charge atau meminta pembayaran sejak
hilangnya kapal. Dalam hal pen-charter telah membayar lunas selama masa sewa
maka pemilik kapal berkewajiban mengembalikan sisa pembayaran yang dihitung
sejak kapal hilang.
4.
Charterer`s right to complain of
master and chief engineer. Memberikan hak kepada penyewa atau charterer untuk
melakukan teguran terhadap pemilik atas perbuatan anak buah pemilik (awak
kapal), dan selanjutnya memberikan teguran kepada awak kapal. Dalam beberapa
charter party (demise or bareboat charter), charterer diberi hak untuk menunjuk
dan mengangkat seluruh awak kapal termasuk nakhoda dan chief engineer, dan
selama masa sewa, pemilik tidak mempunyai kontrol atas kapalnya.
5.
Charterer`s obligation to provide
master with full sailing directions. Pen-charter berkewajiban untuk memberikan
informasi yang lengkap dan jelas mengenai arah berlayar kapal, kelalaian diatas
menyebabkan keterlambatan.
6.
Withdrawal clause yaitu pemberian
hak kepada pemilik untuk menarik kembali kapalnya jika pen-charter terlambat
atau tidak membayar.
Klausula-klausula yang dimasukkan
dalam Voyage Charter :
1.
Limitation of liability atau Cesser
Clause. Tanggung jawab Pen-charter selesai/berhenti sejak barang di muat dan
telah melunasi seluruh kewajiban pembayaran antara lain, freight dan demurrage
telah dipenuhi.
2.
Description of Cargo. Pen-charter
harus menuliskan dalam charter party mengenai jenis cargo termasuk jumlahnya
secara komplit dan terinci. Contoh dari klausula ini : the Charterer shall load
a full and complete cargo of ………….. not exceeding …………… tons, not less than
………….. tons’.
3.
Option of other ports and cargoes.
Memperkenankan kapal untuk membawa cargo lain selain yang sudah ditentukan di
dalam Charter Party, umumnya dengan freight yang sama. Selain itu klausula ini
juga memberikan opsi kepada kapal untuk berhenti di pelabuhan lain untuk
bongkar dan muat.
Beberapa istilah – istilah yang
sering muncul sehubungan dengan Charter Party :
1.
Always afloat Artinya kapal tersebut
harus tetap mengapung selama loading dan discharging, dan tidak boleh sama
sekali dalam posisi kandas atau sedang docking.
2.
Redelivered in like good order and
condition. Setelah masa sewa berakhir, Pen-charter berkewajiban mengembalikan
kapal dalam kondisi sama seperti pada saat kapal diserahkan kepadanya, tentunya
dengan toleransi kerusakan kecil yang dapat diterima (fair wear and tear).
Pen-charter berkewajiban untuk memperbaiki kapal jika terjadi
kerusakan-kerusakan pada masa berlangsungnya charter party.
3.
Representation or mispresentation.
Suatu kejadian yang timbul dimana informasi yang diberikan dalam charter party
tidak benar, yang dapat menyebabkan timbulnya klaim dari pihak yang dirugikan.
No comments:
Post a Comment